Rabu, 22 November 2017


MAKNA DAN ARTI LAMBANG GARUDA PANCASILA

  1. BURUNG GARUDA


Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari Mitologi Hindu yang berasal dari India dan berkembang di wilayah Indonesia sejak abad ke-6. Burung Garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada burung garuda itu melambangkan kemegahan atau kejayaan. Pada burung garuda, Jumlah masing-masing sayap bulunya berjumlah 17 yang mempunyai makna, tanggal kemerdakaan negara kita yakni tanggal 17. Bulu ekor memiliki jumlah 8 yang melambangkan bulan kemerdekaan negara kita bulan Agustus yang merupakan bulan ke-8. Dan bulu-bulu di pangkal ekor atau  perisai berjumlah 19 helai dan di lehernya berjumlah 45 helai.
Sehingga kesemua jumlah bulu yang ada di setiap bagiannya melambangkan tanggal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Kepala Burung Garuda yang menoleh ke kanan mungkin karena pemikiran orang zaman dahulu yang ingin Indonesia menjadi negara yang benar dan bermaksud agar Indonesia tidak menempuh jalan yang salah. Dan anggapan bahwa arah ke kanan adalah arah yang baik lah yang membuat kepala Garuda dibuat menghadap ke kanan.

Biasanya banyak anggapan yang mengatakan bahwa jalan yang benar itu dilambangkan dengan arah kanan, makanya kepala garuda Indonesia selalu mengarah ke kanan. Sayap yang membentang adalah siap terbang ke angkasa. Burung Garuda dengan sayap yang mengembang siap terbang ke angkasa, melambangkan dinamika dan semangat untuk menjunjung tinggi nama baik bangsa dan Negara.

  1. PERISAI
Perisai


Perisai yang dikalungkan melambangkan pertahanan Indonesia. Gambar perisai tersebut dibagi menjadi lima bagian: bagian latar belakang dibagi menjadi empat dengan warna merah putih berselang seling (warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia, merah berarti berani dan putih berarti suci), dan sebuah perisai kecil miniatur dari perisai yang besar berwarna hitam berada tepat di tengah-tengah. Garis lurus horizontal yang membagi perisai tersebut menggambarkan garis khatulistiwa yang tepat melintasi Indonesia di tengah-tengah.
Dan Pada perisai itu mengandung lima buah simbol yang masing-masing simbol melambangkan sila-sila dari dasar negara Pancasila.

C. Bintang Tunggal
Bintang Tunggal
        Bagian tengah terdapat simbol bintang bersudut lima yang melambangkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Perisai hitam dengan sebuah bintang emas berkepala lima menggambarkan agama-agama besar di Indonesia, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan juga ideology sekulersosialisme, dan Lambang bintang dimaksudkan sebagai sebuah cahaya, seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Sedangkan latar berwarna hitam melambangkan warna alam atau warna asli, yang menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada
D.     Rantai Emas


           Di bagian kanan bawah terdapat rantai yang melambangkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rantai yang disusun atas gelang-gelang kecil ini menandakan hubungan manusia satu dengan yang lainnya yang saling membantu dan Rantai tersebut terdiri atas mata rantai berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkait membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.

3.  Pohon Beringin




 Di bagian kanan atas terdapat gambar pohon beringin yang melambangkan sila ketiga, PersatuanIndonesia. Pohon beringin digunakan karena pohon beringin merupakan pohon yang besar di mana banyak orang bisa berteduh di bawahnya, seperti halnya semua rakyat Indonesia bisa " berteduh " di bawah naungan negara Indonesia. Selain itu, pohon beringin memiliki sulur dan akar yang menjalar ke mana-mana, namun tetap berasal dari satu pohon yang sama, seperti halnya keragaman suku bangsa yang menyatu di bawah nama Indonesia.

4.     Kepala Banteng

Kemudian, di sebelah kiri atas terdapat gambar kepala banteng yang melambangkan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Binatang banteng (Latin: Bos javanicus) atau lembu liar adalah binatang sosial, sama halnya dengan manusia cetusan Presiden Soekarno dimana pengambilan keputusan yang dilakukan bersama (musyawarah), gotong royong, dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai khas bangsa Indonesia dan  Lambang banteng digunakan karena banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.

5.     Padi Kapas




                Di sebelah kiri bawah terdapat padi dan kapas yang melambangkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas (yang menggambarkan sandang dan pangan) merupakan kebutuhan pokok setiap masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun kedudukannya. Hal ini menggambarkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial satu dengan yang lainnya, namun hal ini bukan berarti bahwa negara Indonesia memakai ideologi komunisme.

C.  PITA PUTIH




Pada bagian bawah Garuda Pancasila, terdapat pita putih yang dicengkeram, yang bertuliskan " BHINNEKA TUNGGAL IKA " yang ditulis dengan huruf latin, yang merupakan semboyan negara Indonesia. Kata “Bhineka” berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, Kata “Tunggal” berarti satu, dan Kata “Ika” berarti itu. Perkataan bhinneka tunggal ika merupakan kata dalam Bahasa Jawa Kuno yang berarti " berbeda-beda tetapi tetap satu jua ". Perkataan itu diambil dari Kakimpoi Sutasoma karangan Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Perkataan itu menggambarkan persatuan dan kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau, ras, suku, bangsa, adat, kebudayaan, bahasa, serta agama.
MAKALAH                          
ASBAB An-NUZUL

Ø DISUSUN OLEH KELOMPOK 5   : Reza Rahmatillah
Ø  JURUSAN                                           : PAI
Ø  PRODY                                               :TARBIAH
Ø  UNIT                                                  : A
Ø  SEMESTER                                         : 1 ( SATU )



DOSEN PEMBIMBING RAMSAH ALI. MA














KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014






KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang  berjudul “Asbab An-Nuzul”. Serta shalawat dan salam kepada junjungan  kita Nabi  Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam jahilyah ke alam berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa buku,penyusunan /pembuatan . Adapun penyajian materi ini sangat sederhana dan sebaik mungkin tanpa melupakan tujuan agar mudah di pahami dan dimengerti  untuk mengetahui isi materi yang dipelajari..
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan isi makalah ini.
Akhirnya kami menyerahkan diri kepada Allah SWT. Mudah-mudahan makalah ini  dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,agama dan Negara. Dengan rahmat serta hidayah-Nya, makalah ini merupakan karya yang diridhoi-Nya. Amin Ya Robbal’alamin.

                                                                                                Takengon,  Nopember 2013       
                                                                                                            Hormat Kami,


                                                                                                                Penulis
                                                                                                            Kelompok V



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................      
DAFTAR ISI.............................................................................................................................     
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................

A.    Pengertian Asbab An-Nuzul...............................................................
B.     Macam-macam asbabun nuzul dan pembagiannya............................
C.     Beberapa redaksi asbab an-nuzul......................................................
D.    Berbilangnya asbab an-nuzul suatu ayat............................................
E.     Manfaat asbab an-nuzul....................................................................
                                                    
BAB III
PENUTUP...................................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................
B.  Saran.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

Sudah tidak di pungkiri lagi, bahwa salah satu tema penting yang menjadi objek kajian studi ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an (Asbab An-Nuzul). Hal ini tercermin pada suatu kenyataan bahwa hampir pada semua kitab Ulum Al-Qur’an atau Ulum Al-Tafsir selalu menyertai tema Asbab An-Nuzul sebagai salah satu objek yang di kaji.
Mempelajari dan mengetahui Asbab An-Nuzul bagi turunnya Al-Qur’an sangat penting, Terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum. Para ulama’ seperti Alwahidi, Al-Suyuti dan lain-lainnya telah banyak menulis tentangnya dan menekankan pentingnya mengetahui Asbab An-Nuzul dengan pernyataan-pernyataan yang jelas. Di samping itu ada sebagian ulama’ yang tidak menganggap signifikan mengetahui Asbab An-Nuzul.
Di dalam Asbab An-Nuzul fi Ulum Al-Qur’an, ada beberapa poin yang harus dipelajari. Penulis mencantumkan beberapa poin yaitu; Pertama pengertian Asbab An-Nuzul. Kedua urgensi dan kegunaan Asbab An-Nuzul. Ketiga cara-cara mengetahui riwayat Asbab An-Nuzul keempat macam-macam Asbab An-Nuzul. Kelima kaidah “Al-Ibroh.”

  
BAB II
PEMBAHASAN
A.         Pengertian Asbab An-Nuzul

Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab An-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya  sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi  terjadinya sesuatu  bisa disebut asbab An-nuzul, namun dalam pemakainnya, ungkapan asbab An-nuzul khusus di gunakan untuk menyatakan Sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya, ayat-ayat Al-Qur’an seperti halnya asabab al-wurud yang secara khusus di gunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[1]
Banyak para Ulama’ yang merumuskan tentang pengertian Asbab An-Nuzul. Di antaranya;
1.     Menurut Az-Zarqani:
Asbab An-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”[2]




2.     Mana’ Al-Qthathan:
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[3]

3.     Ash-Shabuni:
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.”[4]
4.     Shubhi Shalih:
Asbab An-Nuzul adalah suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum peristiwa itu terjadi.”[5]

Dengaan merujuk para Ulama yang berpendapat pada kitab-kitab ‘Ulum Al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa secara umum dalam berbagai literature disebutkan bahwa Asbab An-Nuzul adalah segala sesuatu yang

menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik untuk mengomentari, menjawab ataupun menerangkan hukum, pada saat sesuatu itu terjadi.
Selain itu Asbab An-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rosulullah SAW. Oleh karena itu tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar (Naql As-Shohih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat Al-Qur’an.[6]

B.   Urgensi dan Kegunaan  Asbab An-Nuzul
Dalam kitab-kitab ‘Ulum Al-Qur’an atau ‘UlumAl-Tafsir, hampir semua ulama’ sepakat tentang pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbab An-Nuzul dalam rangka memahami atau menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini karena begitu besar dan banyaknya manfaat Asbab An-Nuzul untuk mengantarkan seseorang pada penafsiran dan pemahaman Al-Qu’an. Al-Wahidi berpendapat bahwa tidak akan mungkin bisa menafsirkan ayat Al-Qur’an dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya,[7]hal ini senada dengan pendapatnya Al-Suyuti. Di samping itu ia juga menyertakan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa penguasaan Asbab An-Nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami sebuah ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang “sebab” akan melahirkan pengetahuan tentang “akibat”.[8]

Az-Zarqoni dan As-Suyuti mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui Asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkannya dalam kontek historis itu sama halnya dengan membatasi pesan-pesan pada ruang dan waktu tertentu.[9]
Untuk lebih terperinci, para Ulama menyebutkan beberapa manfaat Asbab An-Nuzul. Antara lain;
1.  Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus ( khusus As-Sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum, seperti dalam pemulaan (QS. Al-Mujadalah )
2.     Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum,  seperti dalam (QS. Al-Anam: 145)
3.     Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an, seperti dalam (QS. Al-Ahqof: 17)
4.    Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian  dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an, seperti dalam (QS. Al-Baqoroh: 115)[10]



C.      Cara Mengetahui Riwayat Asbab An-Nuzul
Asbab An-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar ( naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunya ayat Al-Qur’an. [11]Dengan demikian, seperti periwayatan pada umumnya, di perlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul.
Para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Ketaatan mereka itu di titikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti ketaatan itu di perlihatkan oleh ibn sirin ketika mencerita pengalamannya sendiri:[12]
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap materi asbab An-nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat nabi,  yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, dapat di pastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri. Berkaitan dengan asbab An-nuzul, ucapan seorang tabi’ tidak di pandang sebagai hadis marfu’, kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainya, yang diriwayatkan oleh salah seorang iman tafsir yang dipastikan mendengarkan hadis itu dari nabi.


 Para imam tafsir itu diantaranya: Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Ath, Hasan Bishri, Sa’id Ibn Musayyab Dan Adh-Dhahhak.


D. Macam-Macam Asbab An-Nuzul
1.     Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbab An-Nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perowi dalam mengungkapkan riwayat Asbab An-Nuzul, Pertama Shorih (jelas). Redaksi dikatakan Sharih bila perowi mengatakan;

1.     Sebab turunnya ayat ini adalah……..”
2.     Telah terjadi……., maka turunlah ayat.……”
3.     Rosulullah pernah ditanya tentang….., maka turunlah ayat……”[13]
seperti dalam riwayat yang dibawakn Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata,”Apabila seorang suami mendatangi “kubul” istrinya dari belakang, anak yang terlahir akan juling.” Maka turunlah (QS. Al-Baqoroh: 223).[14]





Kedua Muhtamilah (kemungkinan), bilamana perowi mengatakan;
1.     Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…..…”
2.     Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan dengan…….”
3.     Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan dengan….”[15]
Az-Zarkazi menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan fi Ulm Al-Qur’an:
Sebagaimana diketahui, telah menjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan Tabi’in, jika seorang di antara mereka berkata, “ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….” Maka tang dimaksud adalah ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.[16]

Seperti diriwayatkan Ibn Umar yang menyatakan:
Ayat istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubui) istri dari belakang”. (HR. Bukhori).[17]







2.     Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab An-Nuzul
a.      Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat (Ta’adud As-Sabab wa Nizil Al-Wahid)
Untuk mengetahui variasi riwayat Asbab An-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara sebagai berikut:
1.     Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila menggunakan redaksi muhtamilah.
2.     Mengambil versi riwayat Asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi shorih.
3.     Mengambil versi riwayat yang shohih.[18]
b.      Variasi ayat untuk satu Asbab An-Nuzul (Ta’adud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)
Terkadang suatu kejadian dapat menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih. Sebagaimana contoh adalah apa yang diriwayatkan Bukhori dari perkataan Zaid bin Sabit bahwa Rosulullah membacakan kepadanya ayat 95-96 surat An-Nisa’. Lalu datang Ibnu Ummi Maktum dam berkata, “Wahai rosulullah , andai aku bias berjihadmaka aku akan berjihad,” padahal dia adalh seorang yang buta.maka Allah menurunkan ayat An-Nisa’ tersebut.[19]
E.    Kaidah “Al-Ibrah”
Ada persoalan penting tentang dalam pembahasan Asbab An-Nuzul, misalkan terjadi suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawaban, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘aam (umum) hingga mempunyai cakapan pada kasus pertanyaan itu. Dengan kata lain apakah ayat itu berlaku secara khusus atau umum? Berkenaan dengan hal ini para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz dan bukannya kekhususan sebab (Al-Ibroh bi umm Al-khusus Al-lafdzi la bi khusus as-sabab). Zamakhsary dalam penafsiran surat Al-Humazah, mangatakan bahwa surat ini diturunkan karena sebab khusus. Namun ancaman hukuman yang tercakup didalamnya berlaku umum, mencakup nsemua orang yang berbuat kejahatanyang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5-8 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencuri wanita dalan Asbab An-Nuzul itu.[20]
Disisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan dalam satu lafadz Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan dan bukan dari segi keumuman lafadz (Al-Ibroh bikhusus As-Sabab la bi’umum Al-Lafadz). Jadi, cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan diturunkannya sebuah ayat. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan di ambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain, yaitu dengan qiyas apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas.[21] Ayat Qodzaf, umpamanya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan dengan melalui jalan qiyas.[22]
 BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
                  Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa, asbab An-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya  sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi  terjadinya sesuatu  bisa disebut asbab An-nuzul, namun dalam pemakainnya, ungkapan asbab An-nuzul khusus di gunakan untuk menyatakan  sebab-sebab yang melatar belakangi turunya Al-Qu’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis, urgensi dan kegunaan asbab an-nuzul adalah Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus ( khusus As-Sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum, seperti dalam pemulaan (QS. Al-Mujadalah ), Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum, seperti dalam  dan Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an, seperti dalam (QS. Al-Ahqof: 17). Dan cara mengetahui asbab an-nuzul ialah dari orag-orang yang melihat dan mendengar langsung  tentang turunnya ayat Al-Quran, macam-macam Asbab An-Nuzul yaitu sharih(visionable/jelas), muhtamilah (impossible/kemungkinan).

B.     Saran
pemakalah berharap dengan adanya makalah ini pembaca dapat menggunakannya dengan baik, serta berguna bagi kedepannya. pemakalah juga mengharapkan masukan dari Dosen dan para pembaca,  guna memperbaiki dan meminimalkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemakalah.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Ali Ash-Shabuni, Muhammad, At-Tibyan fi Ulm Al-Qur’an, Maktabah Al-Ghozali, Damaskus, 1390.
2.        Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979.
3.        Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul, Beirut, Dar Al-Fikr, 1988.
4.        Anwar, Rosibon, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2004.
5.        Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut,1996.
6.        Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973.
7.        Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, penerbit Diponegoro, 2009.
8.        Sholih, Shubi, mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qolam Li Al-Malayyin, Beirut, 1988.
9.        Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t
10.   Muhammad ‘Ali Ash-Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan, Dar Al-Fikr, Bairut t.t
11.   Taufiq Adnan Amal Dan Syamsul Rizal Pangabean, Tafsir Kontekstual Al-Qura’an, Mizan, Bandung, 1988.
12.   TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bulan-Bintang, Jakarta, 1988.


[1] Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hal. 77.
[2] Muhammad Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut, ttp,1996 Jilid I, hlm. 106.

[3] Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hlm. 78.
[4]Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulm Al-Qur’an, Maktabah Al-Ghozali, Damaskus, 1390, hlm. 22.
[5] Shubi Sholih, mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qolam Li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.

[6] Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut, ttp,1996 hlm 113.
[7] Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul, Beirut, Dar Al-Fikr, 1988, hlm. 4.
[8] Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979, hlm. 29.

[9] Rosihon Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm 62.
[10] Untuk mengetahui yang lebih terperinci, lihat Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut, ttp,1996 hlm 110. Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hlm 79. Abu Sahbah, Al-Madkhol Al-Dirosah, hlm. 125.

[11] Az-zarqani, op. cit. hlm. 113-114; Ash-Shabuny, op.cit., hlm. 23; Shalih op.cit., hlm. 135.
[12] Az-zarkani, op.cit., hlm. 114.
[13] Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hlm. 87
[14] Shaleh dkk, Asbabun nuzul, penerbit Diponegoro, 2009., hlm. 74
[15] Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hlm. 85.
[16] Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979, hlm. 32.
[17] Rosihon Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 70.

[18] Rosibon Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 72

[19] Shaleh dkk, Asbabun nuzul, penerbit Diponegoro, hlm. 159.
[20] Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979, hlm. 110.

[21] Rosibon Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 82.
[22] Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut, ttp,1996 hlm 126.