MEMENUHI
TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH
USHUL FIQH
“Mujmal Dan
Mubayyan”
DISUSUN
OLEH KELOMPOK 5 : REZA RAHMATILLAH
:
ERVINA SARI
:
WAHYUNI
:
SUSILA WATI
:
SARMIANA
:
RATNA
:
YULIANA
JURUSAN
: PAI
PRODY
: TARBIAH
UNIT : A
SEMESTER
: 1 ( SATU )
DOSEN PEMBIMBING : RIDWAN, MK, MA.
KEMENTERIAN
AGAMA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur hanya milik Allah SWT. Yang telah
memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “Mujmal Dan Mubayyan”. Shalawat serta salam marilah sama-sama kita do’akan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia
dari alam jahilyah ke alam berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah
ini kami susun berdasarkan beberapa buku, penyusunan /pembuatan. Adapun
penyajian materi ini sangat sederhana dan sebaik mungkin tanpa melupakan tujuan
agar mudah di pahami dan dimengerti
untuk mengetahui isi materi yang dipelajari.
Akhirnya
kami menyerahkan diri kepada Allah SWT. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan,agama dan Negara. Dengan rahmat serta hidayah-Nya, makalah ini
merupakan karya yang diridhoi-Nya.
Amin Ya Robbal’alamin.
Takengon,Nopember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Mubayyan ............................................................................. 1
B. Definisi
Mujmal 3
C. Sebab-Sebab Mujmal 4
D. Hukum Mujmal.................................................................................... 7
E. Ayat-Ayat Yang Masih Menyangkut Mujmal Atau Mubayyan.......... 7
F. Hikmah Menggunakan Mujmal........................................................... 9
G. Klasifikasi Bayyan............................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-quran merupakan sumber hukum
bagi umat Islam sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad saw yang diberikan oleh Allah
swt. Al Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk
kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan
lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan
tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak
dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran
merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh
karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang
terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami
ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak
sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya tetapi tidak sedikit juga
ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai
ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit
tentang: Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
- Apa Pengertian Mujmal Dan Mubayyan?
- Apakah Hukum Mujmal?
- Bagaimanakah Sebab-Sebab Mujmal?
- Apa saja Ayat-Ayat Yang Masih Menyangkut
Mujmal danMubayyan?
- Apa Hikmah Menggunakan Mujmal?
- Bagaimanakah Bentuk-Bentuk Bayyan Pada Lafad Mujmal Dalam Al-Quran?
- Bagaimanakah Klasifikasi Bayyan?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
MUJMAL DAN
MUBAYYAN
A. Mubayyan
Mubayyan, ialah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari yang lainnya.[1]
Kejelasan tersebut adakalanya dari:
1. Manthuq-nya,
yaitu pada:
a. Nashnya,
pada perkataan yang jelas atau pada teksnya yang menunjukkan kejelasan dari
segi makna dan maksudnya, sehingga tidak memerlukan takwil;
b. Zhahir, yakni
suatu perkataan yang memilki makna aslinya dan dapat dimaknakan juga dengan
makna yang bukan makna aslinya. Seperti perkataan umum, maknanya dapat
dikhususkan, perkataan yang muthlaq,
maknya dapat di-taqyid-kan, dan
perkataan yang hakiki, maknanya dapat bersifat majazi;
c. Lafazh umum, yaitu pada perkataan yang maknanya
berlaku umum juga berlaku khusus, misalnya perintah shalat jum’at bagi
orang-orang yang beriman. Maka yang melaksanakan shalat jum’at adalah mu’min
laki-laki, sedangkan perempuan tidak diwajibkan.
2. Mafhum-nya,baik dalam:
a. Fahwal
khitab, yaitu mengatakan pemahaman makna. Contoh: “Jangan berkata uh/ah kepada kedua orang tua!”
b. Lahnul khitab, yakni apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang
tidak diucapkan. Contoh: “Memakan harta anak yatim, haram hukumnya sebab sama
dengan membakar perutnya dengan api neraka . “perkataan ini dipahami bahwa
membakar harta anak yatim
c. hukumnya sama seperti memakan harta
anak yatim”. Tetapi dalam surat An-Nisa’ ayat 10:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) bqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqnt=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
Larangan membakar harta anak
yatim tidak diungkapkan, yang diungkapkan adalah larangan memakan harta anak
yatim.[2]
d. Dalilul khitab, apabila yang dipahamkan berbeda dengan yang diucapkan. Yang
dipahamkan adalah kebalikan dari makna kata yang diucapkan. Contohnya dalam
surat Al-Isra’ ayat 31:
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$Î)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%2 $\«ôÜÅz #ZÎ6x. ÇÌÊÈ
Artinya: janganlah kamu membunuh anak-anaknya karena
takut kelaparan.
Hal itu berarti boleh membunuh jika berani menghadapi
kelaparan.
B. Mujmal
Mujmal, ialah suatu perkataan yang belum
jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari yang lainya.
Penjelasan
ini disebut al-bayan. Dalam arti
lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian.[3]
Dan
ketikjelasaan tersebut disebut dengan ijmal,
Ijmal bias terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu
susunan kata-kata atau tarkib.[4]
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazh
mujmal tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan
dari penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan).
Hanya saja, kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahasan tidak
mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada
dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak
bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.[5]
Pada mujmal ini juga terdapat dalam undang-undang Hukum positif. Wakaf
itu terdapat dalam pasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum
Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum ini dikumpulkan, bukan
dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa pengaruh pertikaian
bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai syari’.
Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28 Peraturan
Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan pengadilan pada
tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh pengadilan
mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau dengan
perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya, atau
melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat mereka
itu.[6]
C. Sebab-Sebab
Mujmal Dalam Al-Qur’an
Menurut al-zarkashiy, lafad Mujmal
memiliki beberapa sebab diantaranya:
1.
Ishtirak seperti dalam QS. Al-Baqarah: 228
Mujmal
karena lafad quru’ tersebut
masih belum jelas dilalahnya (maksudnya). Hal ini disebabkan lafad quru’
secara Etimologi memiliki dua makna yaitu datang bulan (haid) dan
bersuci.
2. al-Hadhf
(pembuangan) seperti QS. Al-Nisa’: 127
.
Menurut al-zarkashiy, ayat tersebut mujmal karena
terdapat kemungkinan setelah lafad targhabu ada pembuangan huruf “fi”
yang berarti memiliki makna “senang menikahinya karena sedikit hartanya”
atau kemungkinan ada pembuangan huruf “’an” yang bermakna “membenci
menikahinya karena sedikit hartanya”. Kedua makna tersebut mungkin terjadi
karena dalam gramatikal arab kata raghiba memiliki makna bila dikaitkan
setelahnya, jika setelahnya berupa huruf fi maka bermakna senang dan
jika setelahnya berupa huruf ‘an maka bermakna benci.
3.
Perbedaan mengembalikan Damir (kata ganti) seperti QS. Fathir: 10
Mujmal karena
pada fa’il pada lafad yarfa’u terdapat kemungkinan kembali pada
Allah seperti halnya damir yang ada pada lafad ilaih. Dengan
demikian teks tersebut bermakna “kepada Allah naik perkataan baik dan Allah
menaikan amal shaleh”, atau kemungkinan kembali pada lafad al-‘amal
al-salih yang berarti bermakna “amal shaleh bisa mengangkat kalimat tayyib
(kalimat tauhid)” atau kemungkinan kembali pada lafad al-kalim al-tayyib
yang berarti bermakna “kalimat tauhid mengangkat amal saleh”, karena amal
tidak akan di rafa’ (diangkat) oleh Allah kecuali disertai dengan Iman.
4.
kemungkinan ‘ataf atau isti’naf (awal kalimat) seperti QS.
al-‘Imran: 7
5.
Gharabat al-lafdhi seperti QS. al-Baqarah: 232
1. Taqdim
(mendahulukan) dan Ta’khir (mengahirkan) seperti QS.
al’a’raf: 187
Mujmal karena kemungkinan susunannya adalah:
2.
Qalb al-manqul (membalik susunan) QS. al-Saffat: 130
D. Hukum Mujmal
Dari definisi diatas, dapat dimbil pemahaman bahwa jika
ditemukan suatu lafad yang mujmal, baik dalam al-Quran maupun Hadis,
maka status hukum yang terkandung di dalamnya harus ditangguhkan selama belum
menemukan dalil lain yang bisa menjelaskanya. Akan tetapi jika sudah ditemukan
penjelasan (bayyan) dari lafad atau dalil lain, maka barulah lafad mujmal
tersebut dipakai dan dilaksanakan semua ketentuan hukumnya sesuai dengan bayyannya.
Contoh ada ayat mujmal (misalnya kewajiban shalat
dalam al-Quran), maka yang harus dilakukan adalah mencari bayyan yang
cocok dengan lafad tersebut (misalnya hadis tentang praktek shalat). Dalam hal
ini hadis dapat memberikan penjelasan pada lafad mujmal sepanjang tidak
ada penjelasan al-Quran. Oleh sebab itu, untuk mencari penjelas (bayyan)
lafad mujmal terlebih dahulu harus mencarinya dari nas al-Quran,
baru kemudian mencarinya dari al-Hadis[7].
E. Ayat-Ayat
Yang Masih Menyangkut Mujmal Dan Mubayyan
Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan lafad-lafad yang
masih diperselisihkan apakah termasuk mujmal atau mubayyan. Dalam
hal ini al-Shuyuti menyebutkan beberapa ayat diantaranya:
1.
Ayat Shariqah QS. al-maidah: 38
…
Mujmal karena
kata yad dalam literatur arab bisa digunakan untuk organ tubuh sampai
kepergelangan tangan, atau sampai ke siku-siku dan terkadang untuk organ tubuh
sampai ke bahu. Sebagian
pendapat mengatakan tidak mujmal, karena dalam pemotongan tangan dalam
pencurian sudah nampak jelas, yaitu memotong sampai putus.
2. QS. al-maidah: 6
Menurut suatu pendapat ayat ini kategori mujmal karena
lafad mashu (mengusap) kemungkinan mengusap sebagian kepala atau
keseluruhanya.
Pendapat
lain mengatakan tidak mujmal karena kata mashu dalam ayat
ini disebutkan secara mutlak, yang berarti mengarah pada mengusap sebagian
kepala. Selain itu Rasulullah SAW pada waktu wudhu pernah mengusap ubun-ubun
kepala.
3.
QS. al-Baqarah: 275
.
Mujmal karena
riba adalah ziyadah (tambahan). Sedangkan dalam transaksi jual
beli tidak lepas dari yang namanya tambahan (laba). Oleh sebab itu membutuhkan
penjelas, antara jual beli yang haram dan yang halal. Pendapat lain menjelaskan tidak termasuk Mujmal
karena lafad bai’ adalah manqul syar’an (pidahan dari
syara’), maka dari itu kata ini diarahkan pada makna keumumanya selama tidak
ada yang menentukanya.
4. Ayat-ayat yang memuat
istilah syara’ seperti kata shalat dalam QS. al-baqarah: 43
atau
kata al-saum (puasa) dalam QS. al-baqarah: 185
.
dan
kata haji dalam QS. al-imran: 97
Lafad al-shalat atau al-saum
dan al-haj dalam ayat di atas termasuk mujmal karena
kemungkinan mengarah pada makna lughawi (secarabahasa) yakni, al-salat
bermakna “setiap do’a”, kata al-saum bermakna “menahan setiap hal” dan
kata al-haj bermakna “setiap tujuan.
Pendapat
lain mengatakan tidak mujmal karena semua lafad tersebut dikembalikan
pada syara’ selama tidak ada dalil yang menjelaskanya.
F. Hikmah
Menggunakan Mujmal
Mujmal adalah
salah satu bagian dari mutasha}bih. lafad mujmal memiliki
beberapa faidah yang sangat besar manfaatnya diantaranya ialah[8]:
1. Mengandung hikmah yaitu
menguji, merangsang akal untuk berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya
2. Memperoleh derajat ilmu
serta mendapat kemuliaanya
3. Memperlihatkan kadar jerih
payah dalam mencari kebenaran
4. Menambah ketenangan hati
(iman) karena akan mengetahui bahwa al-quran benar-benar berasal dari Allah
SWT.
G. Macam-Macam Bayan ( Penjelasan) Terhadap
Lafazh Mujmal
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul),
Contohnya pada QS Al-Baqarah: 196 :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4
Artinya:
sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban.
“Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat
tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang
yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contohnya Rasulullah melakukan
perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu: memulai dengan yang
kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS
Al-Baqarah: 43 :
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'
Perintah mendirikan
sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan
bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah
naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda :
“Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan
tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat
(Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan
kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya
seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya
dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh
sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan.
Contohnya
seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu
yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau
meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu
ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu
penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih
menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang
mengkhususkan).
Mufassar
(sudah ditafsirkan) Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang
terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Apabila
datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan
bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar
(ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat,
zakat, haji dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. al-mubayyan adalah yang bermaksud apa yang
dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya
penjelasan. Dengan kata lain, al-mubayyan merupakan sesuatu yang jelas
tentang dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lain ataupun sesuatu lafaz
yang jelas dan tiada kesamaran selama ada penjelasan tersebut dan datang dari
dirinya sendiri atau dari yang lain.
2. Al-mujmal adalah Secara
bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz
yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu
maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
3. Menurut al-zarkashiy, lafad Mujmal memiliki beberapa sebab
diantaranya:
a. Ishtirak seperti dalam QS. Al-Baqarah: 228.
b. al-Hadhf (pembuangan)
seperti QS. Al-Nisa’: 127
c. Perbedaan mengembalikan Damir (kata
ganti) seperti QS. Fathir: 10
d. kemungkinan ‘ataf atau isti’naf
(awal kalimat) seperti QS. al-‘Imran: 7
4. Hukum mujmal ialah status hukum yang terkandung di dalamnya
harus ditangguhkan selama belum menemukan dalil lain yang bisa menjelaskanya.
Akan tetapi jika sudah ditemukan penjelasan (bayyan) dari lafad atau
dalil lain, maka barulah lafad mujmal tersebut dipakai dan dilaksanakan
semua ketentuan hukumnya sesuai dengan bayyannya.
5. Contoh-contoh ayat mujmal ini banyak
didapati dalam al-Qur'an sendiri yang Allah memerintahkan untuk melakukan
sesuatu perbuatan ke atas umatnya tanpa diterangkan dengan terperinci akan
cara-caranya, syarat-syaratnya dan sebagainya. Oleh itu bagi memudahkan
hamba-hambanya menunaikan dan mematuhi apa yang diperintahkan, al-mubayyan
adalah diperlukan bagi menerangkan akan maksud-maksud yang dikehendaki Allah
dalam suruhanNya. Dan al-mubayyan atau penjelasan ini datangnya dari
Nabi sendiri sama ada melalui perbuatan Baginda ataupun perkataannya.
6. Hikmah mengunakan Mujmal yaitu menguji, merangsang akal untuk
berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya, dan Memperoleh
derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya serta Memperlihatkan
kadar jerih payah dalam mencari kebenaran.
7. Macam-macam bayan yaitu:
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul).
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li).
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus.
4. Penjelasan dengan tulisan.
5. Penjelasan dengan isyarat.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan.
B.Saran
Di dalam pembuatan makalah ini kami masih banyak mendapatkan
kesulitan. Dan kepada dosen pengajar dan rekan-rekan sekalian, kami selaku
pemapar menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu, kami
masih mengharapkan saran dan arahan dari dosen dan rekan-rekan sekalian.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Prof. DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN,STAIN, PTAIS. (Bandung: Pustaka setia,
2010).
2. Drs. Moh. Rifa’i. Ushul Fiqih. (Bandung: PT Al-Ma’arif,1972).
3. Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Ushul
Fiqih. (Jakarta: Kalam Mulia,1990).
4. Dr. Andewi Suhartini, M.Ag. Ushul fiqih. (Jakarta: Direktor Jendral Pendidikan Islam, 2009).
5. Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
6.
Syekh
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih.
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999).
7. Satria
Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2008).
8. Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Mujmal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998).
[1]
Prof.
DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Ushul Fiqih
untuk UIN, STAIN, PTAIS. Pustaka setia. Bandung: 2010. hal:150.
[3] Jasim
bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek
Untuk Mengenal Dasar Ushul Fiqih. Kalam Mulia, Jakarta : 1990. hal:
127-128.
[4] Dr.
Andewi Suhartini, M.Ag. Ushul fiqih.
Direktor Jendral Pendidikan Islam, Jakarta : 2009. hal: 129.
[5] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Pustaka Firdaus, Jakarta :
2008. hal: 191-195.
[7]
Satria
Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, contoh ayat
mujmal, Kencana Jakarta: 2008, h. 206.
[8]
Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Mujmal, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
tahun 1998. h. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar