Senin, 11 Desember 2017

“Mujmal Dan Mubayyan”

MEMENUHI TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH USHUL FIQH
 “Mujmal Dan Mubayyan”

DISUSUN OLEH KELOMPOK  5    : REZA RAHMATILLAH
                                                              : ERVINA SARI
                                                              : WAHYUNI
                                                              : SUSILA WATI
                                                              : SARMIANA
                                                              : RATNA
                                                              : YULIANA
JURUSAN                                            : PAI
PRODY                                                : TARBIAH
UNIT                                                    : A
SEMESTER                                          : 1 ( SATU )


                  DOSEN PEMBIMBING : RIDWAN, MK, MA.





KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2013





KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang  berjudul “Mujmal Dan Mubayyan”. Shalawat serta salam  marilah sama-sama kita do’akan kepada baginda   Nabi  Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam jahilyah ke alam berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa buku, penyusunan /pembuatan. Adapun penyajian materi ini sangat sederhana dan sebaik mungkin tanpa melupakan tujuan agar mudah di pahami dan dimengerti  untuk mengetahui isi materi yang dipelajari.   
Akhirnya kami menyerahkan diri kepada Allah SWT. Mudah-mudahan makalah ini  dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,agama dan Negara. Dengan rahmat serta hidayah-Nya, makalah ini merupakan karya yang diridhoi-Nya.
 Amin Ya Robbal’alamin.



Takengon,Nopember 2013
Penulis


DAFTAR ISI

               
KATA PENGANTAR.................................................................................... i     
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii    
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... iii


BAB II PEMBAHASAN

A.   Definisi Mubayyan ............................................................................. 1
B.   Definisi Mujmal                                                                                    3
C.   Sebab-Sebab Mujmal                                                                            4    
D.   Hukum Mujmal.................................................................................... 7    
E.    Ayat-Ayat Yang Masih Menyangkut Mujmal Atau Mubayyan.......... 7
F.    Hikmah Menggunakan Mujmal........................................................... 9
G.   Klasifikasi Bayyan............................................................................... 10  




BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 12  
B. Saran................................................................................................... 12  

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad saw yang diberikan oleh Allah swt. Al Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang: Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Mujmal Dan Mubayyan?
  2. Apakah Hukum Mujmal?
  3. Bagaimanakah Sebab-Sebab Mujmal?
  4. Apa saja Ayat-Ayat Yang Masih Menyangkut Mujmal danMubayyan?
  5. Apa Hikmah Menggunakan Mujmal?
  6. Bagaimanakah Bentuk-Bentuk Bayyan Pada Lafad Mujmal Dalam Al-Quran?
  7. Bagaimanakah Klasifikasi Bayyan?

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Mujmal Dan Mubayyan dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
MUJMAL DAN MUBAYYAN

A.   Mubayyan
Mubayyan, ialah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa  memerlukan penjelasan dari yang lainnya.[1]
Kejelasan tersebut adakalanya dari:
1.    Manthuq-nya, yaitu pada:
a.     Nashnya, pada perkataan yang jelas atau pada teksnya yang menunjukkan kejelasan dari segi makna dan maksudnya, sehingga tidak memerlukan takwil;
b.     Zhahir, yakni suatu perkataan yang memilki makna aslinya dan dapat dimaknakan juga dengan makna yang bukan makna aslinya. Seperti perkataan umum, maknanya dapat dikhususkan, perkataan yang muthlaq, maknya dapat di-taqyid-kan, dan perkataan yang hakiki, maknanya dapat bersifat majazi;
c.     Lafazh umum, yaitu pada perkataan yang maknanya berlaku umum juga berlaku khusus, misalnya perintah shalat jum’at bagi orang-orang yang beriman. Maka yang melaksanakan shalat jum’at adalah mu’min laki-laki, sedangkan perempuan tidak diwajibkan.
2.    Mafhum-nya,baik dalam:
a.     Fahwal khitab, yaitu mengatakan pemahaman makna. Contoh: “Jangan berkata uh/ah kepada kedua orang tua!”
b.    Lahnul khitab, yakni apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang tidak diucapkan. Contoh: “Memakan harta anak yatim, haram hukumnya sebab sama dengan membakar perutnya dengan api neraka . “perkataan ini dipahami bahwa membakar harta anak yatim

c.    hukumnya sama seperti memakan harta anak yatim”. Tetapi dalam surat An-Nisa’ ayat 10:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) bqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqnt=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ    
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

               Larangan membakar harta anak yatim tidak diungkapkan, yang diungkapkan adalah larangan memakan harta anak yatim.[2]

d.   Dalilul khitab, apabila yang dipahamkan berbeda dengan yang diucapkan. Yang dipahamkan adalah kebalikan dari makna kata yang diucapkan. Contohnya dalam surat Al-Isra’ ayat 31:

Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$­ƒÎ)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%Ÿ2 $\«ôÜÅz #ZŽÎ6x. ÇÌÊÈ  

Artinya:  janganlah kamu membunuh anak-anaknya karena takut kelaparan.

Hal itu berarti boleh membunuh jika berani menghadapi kelaparan.


B.  Mujmal
Mujmal, ialah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari yang lainya.
Penjelasan ini disebut al-bayan. Dalam arti lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian.[3]
Dan ketikjelasaan tersebut disebut dengan ijmal, Ijmal bias terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau tarkib.[4]
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazh mujmal tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan). Hanya saja, kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahasan tidak mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.[5]

Pada mujmal ini juga terdapat dalam undang-undang Hukum positif. Wakaf itu terdapat dalam pasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum ini dikumpulkan, bukan dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa pengaruh pertikaian bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai syari’. Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28 Peraturan Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan pengadilan pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh pengadilan mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau dengan perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya, atau melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat mereka itu.[6]

C.  Sebab-Sebab Mujmal Dalam Al-Qur’an 
Menurut al-zarkashiy, lafad Mujmal memiliki beberapa sebab diantaranya:
1.      Ishtirak seperti dalam QS. Al-Baqarah: 228
 ­   
Mujmal karena lafad quru’ tersebut masih belum jelas dilalahnya (maksudnya). Hal ini disebabkan lafad quru’ secara Etimologi memiliki dua makna yaitu datang bulan (haid) dan bersuci.
2.      al-Hadhf  (pembuangan) seperti QS. Al-Nisa’: 127
                               .  
Menurut al-zarkashiy, ayat tersebut mujmal karena terdapat kemungkinan setelah lafad targhabu ada pembuangan huruf “fi” yang berarti memiliki makna “senang menikahinya karena sedikit hartanya” atau kemungkinan ada pembuangan huruf “’an” yang bermakna “membenci menikahinya karena sedikit hartanya”. Kedua makna tersebut mungkin terjadi karena dalam gramatikal arab kata raghiba memiliki makna bila dikaitkan setelahnya, jika setelahnya berupa huruf fi maka bermakna senang dan jika setelahnya berupa huruf ‘an maka bermakna benci.
  
3.      Perbedaan mengembalikan Damir  (kata ganti) seperti QS. Fathir: 10
             
Mujmal karena pada fa’il pada lafad yarfa’u terdapat kemungkinan kembali pada Allah seperti halnya damir yang ada pada lafad ilaih. Dengan demikian teks tersebut bermakna “kepada Allah naik perkataan baik dan Allah menaikan amal shaleh”, atau kemungkinan kembali pada lafad al-‘amal al-salih yang berarti bermakna “amal shaleh bisa mengangkat kalimat tayyib (kalimat tauhid)” atau kemungkinan kembali pada lafad al-kalim al-tayyib yang berarti bermakna “kalimat tauhid mengangkat amal saleh”, karena amal tidak akan di rafa’ (diangkat) oleh Allah kecuali disertai dengan Iman.
4.      kemungkinan ‘ataf atau isti’naf  (awal kalimat) seperti QS. al-‘Imran: 7
                                                

5.      Gharabat al-lafdhi seperti QS. al-Baqarah: 232
                                   

1.      Taqdim (mendahulukan) dan Ta’khir (mengahirkan) seperti QS. al’a’raf: 187
                
Mujmal karena kemungkinan susunannya adalah:      

2.      Qalb al-manqul (membalik susunan) QS. al-Saffat: 130
        

D.  Hukum Mujmal
Dari definisi diatas, dapat dimbil pemahaman bahwa jika ditemukan suatu lafad yang mujmal, baik dalam al-Quran maupun Hadis, maka status hukum yang terkandung di dalamnya harus ditangguhkan selama belum menemukan dalil lain yang bisa menjelaskanya. Akan tetapi jika sudah ditemukan penjelasan (bayyan) dari lafad atau dalil lain, maka barulah lafad mujmal tersebut dipakai dan dilaksanakan semua ketentuan hukumnya sesuai dengan bayyannya.
Contoh ada ayat mujmal (misalnya kewajiban shalat dalam al-Quran), maka yang harus dilakukan adalah mencari bayyan yang cocok dengan lafad tersebut (misalnya hadis tentang praktek shalat). Dalam hal ini hadis dapat memberikan penjelasan pada lafad mujmal sepanjang tidak ada penjelasan al-Quran. Oleh sebab itu, untuk mencari penjelas (bayyan) lafad mujmal terlebih dahulu harus mencarinya dari nas al-Quran, baru kemudian mencarinya dari al-Hadis[7].    

E.  Ayat-Ayat Yang Masih Menyangkut Mujmal Dan Mubayyan
Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan lafad-lafad yang masih diperselisihkan apakah termasuk mujmal atau mubayyan. Dalam hal ini al-Shuyuti menyebutkan beberapa ayat diantaranya:

1.     Ayat Shariqah QS. al-maidah: 38
          …  


Mujmal karena kata yad dalam literatur arab bisa digunakan untuk organ tubuh sampai kepergelangan tangan, atau sampai ke siku-siku dan terkadang untuk organ tubuh sampai ke bahu. Sebagian pendapat mengatakan tidak mujmal, karena dalam pemotongan tangan dalam pencurian sudah nampak jelas, yaitu memotong sampai putus.

2.      QS. al-maidah: 6
                
Menurut suatu pendapat ayat ini kategori mujmal karena lafad mashu (mengusap) kemungkinan mengusap sebagian kepala atau keseluruhanya.
Pendapat lain mengatakan tidak mujmal  karena kata mashu dalam ayat ini disebutkan secara mutlak, yang berarti mengarah pada mengusap sebagian kepala. Selain itu Rasulullah SAW pada waktu wudhu pernah mengusap ubun-ubun kepala.

3.      QS. al-Baqarah: 275
     .
Mujmal karena riba adalah ziyadah  (tambahan). Sedangkan dalam transaksi jual beli tidak lepas dari yang namanya tambahan (laba). Oleh sebab itu membutuhkan penjelas, antara jual beli yang haram dan yang halal. Pendapat lain menjelaskan tidak termasuk Mujmal karena lafad bai’ adalah manqul syar’an (pidahan dari syara’), maka dari itu kata ini diarahkan pada makna keumumanya selama tidak ada yang menentukanya.

4.      Ayat-ayat yang memuat istilah syara’ seperti kata shalat dalam QS. al-baqarah: 43  
       
atau kata al-saum (puasa) dalam QS. al-baqarah: 185
.  ­   
dan kata haji dalam QS. al-imran: 97

Lafad al-shalat atau al-saum dan al-haj dalam ayat di atas termasuk mujmal karena kemungkinan mengarah pada makna lughawi (secarabahasa) yakni, al-salat bermakna “setiap do’a”, kata al-saum bermakna “menahan setiap hal” dan kata al-haj bermakna “setiap tujuan.   
Pendapat lain mengatakan tidak mujmal karena semua lafad tersebut dikembalikan pada syara’ selama tidak ada dalil yang menjelaskanya.

F.   Hikmah Menggunakan Mujmal
Mujmal adalah salah satu bagian dari mutasha}bih. lafad mujmal memiliki beberapa faidah yang sangat besar manfaatnya diantaranya ialah[8]:
1.      Mengandung hikmah yaitu menguji, merangsang akal untuk berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya
2.      Memperoleh derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya
3.      Memperlihatkan kadar jerih payah dalam mencari kebenaran
4.      Menambah ketenangan hati (iman) karena akan mengetahui bahwa al-quran benar-benar berasal dari Allah SWT.

G.  Macam-Macam Bayan ( Penjelasan) Terhadap Lafazh Mujmal
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul),

Contohnya pada QS Al-Baqarah: 196 :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4
Artinya: sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban.

            “Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
            Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.

2.  Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
          Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu: memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.

3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
                        Firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 43 :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'

                        Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).

4. Penjelasan dengan tulisan
                               Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

5. Penjelasan dengan isyarat
                             Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.

6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan.
                 Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.

7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
                 Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.

8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
                 Mufassar (sudah ditafsirkan) Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
                             Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.























BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    al-mubayyan adalah yang bermaksud apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan. Dengan kata lain, al-mubayyan merupakan sesuatu yang jelas tentang dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lain ataupun sesuatu lafaz yang jelas dan tiada kesamaran selama ada penjelasan tersebut dan datang dari dirinya sendiri atau dari yang lain.
2.    Al-mujmal adalah Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
3.    Menurut al-zarkashiy, lafad Mujmal memiliki beberapa sebab diantaranya:
a.     Ishtirak seperti dalam QS. Al-Baqarah: 228.
b.    al-Hadhf  (pembuangan) seperti QS. Al-Nisa’: 127
c.     Perbedaan mengembalikan Damir  (kata ganti) seperti QS. Fathir: 10
d.    kemungkinan ‘ataf atau isti’naf  (awal kalimat) seperti QS. al-‘Imran: 7

4.    Hukum mujmal ialah  status hukum yang terkandung di dalamnya harus ditangguhkan selama belum menemukan dalil lain yang bisa menjelaskanya. Akan tetapi jika sudah ditemukan penjelasan (bayyan) dari lafad atau dalil lain, maka barulah lafad mujmal tersebut dipakai dan dilaksanakan semua ketentuan hukumnya sesuai dengan bayyannya.

5.    Contoh-contoh ayat mujmal ini banyak didapati dalam al-Qur'an sendiri yang Allah memerintahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan ke atas umatnya tanpa diterangkan dengan terperinci akan cara-caranya, syarat-syaratnya dan sebagainya. Oleh itu bagi memudahkan hamba-hambanya menunaikan dan mematuhi apa yang diperintahkan, al-mubayyan adalah diperlukan bagi menerangkan akan maksud-maksud yang dikehendaki Allah dalam suruhanNya. Dan al-mubayyan atau penjelasan ini datangnya dari Nabi sendiri sama ada melalui perbuatan Baginda ataupun perkataannya.
6.    Hikmah mengunakan Mujmal yaitu menguji, merangsang akal untuk berpikir bagi setiap orang yang memikirkanya, dan  Memperoleh derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya serta Memperlihatkan kadar jerih payah dalam mencari kebenaran.
7.    Macam-macam bayan yaitu:
1.    Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul).
2.    Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li).
3.    Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus.
4.    Penjelasan dengan tulisan.
5.    Penjelasan dengan isyarat.
6.    Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan.

B.Saran
Di dalam pembuatan makalah ini kami masih banyak mendapatkan kesulitan. Dan kepada dosen pengajar dan rekan-rekan sekalian, kami selaku pemapar menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu, kami masih mengharapkan saran dan arahan dari dosen dan rekan-rekan sekalian. 








DAFTAR PUSTAKA

1.    Prof. DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN,STAIN, PTAIS. (Bandung: Pustaka setia, 2010).
2.    Drs. Moh. Rifa’i. Ushul Fiqih. (Bandung: PT Al-Ma’arif,1972).
3.    Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Ushul Fiqih. (Jakarta: Kalam Mulia,1990).
4.    Dr. Andewi Suhartini, M.Ag. Ushul fiqih. (Jakarta: Direktor Jendral  Pendidikan Islam, 2009).
5.    Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
6.    Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999).
7.    Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008).
8.    Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Mujmal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998).






[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Pustaka setia. Bandung: 2010. hal:150.
[2] Drs. Moh. Rifa’i. Ushul Fiqih. PT Al-Ma’arif. Bandung : 1972. hal: 92-98.
[3] Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Ushul Fiqih. Kalam Mulia, Jakarta : 1990. hal: 127-128.
[4] Dr. Andewi Suhartini, M.Ag. Ushul fiqih. Direktor Jendral Pendidikan Islam, Jakarta : 2009. hal: 129.
[5] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Pustaka Firdaus, Jakarta : 2008. hal: 191-195.
[6] Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. PT Rineka Cipta, Jakarta : 1999. Hal : 216.
[7] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, contoh ayat mujmal, Kencana Jakarta: 2008, h. 206.
[8] Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Mujmal, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998. h. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar