Senin, 11 Desember 2017

DEFINISI AN-NAHYU, MACAM-MACAM, DAN MASA BERLAKUNYA AN-NAHYU

MAKALAH  USHUL FIQH
DEFINISI AN-NAHYU, MACAM-MACAM, DAN MASA BERLAKUNYA AN-NAHYU


DISUSUN OLEH KELOMPOK  3             : Syafi’i                       
                                                                      : Reza Rahmatillah
Ø  JURUSAN                                                      : TARBIAH
Ø  PRODY                                                           : PAI
Ø  UNIT                                                               : A
Ø  SEMESTER                                                    : 1 ( SATU )

Ø  DOSEN PEMBIMBING :RIDWAN, MK.MA









KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014



KATA PENGANTAR
Puji sukur kita atas kehadirat ALLAH swt, karena dengan rahmat dan karunianya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan kepada dosenpembimbing dan teman-teman sekalian yang telah memberi dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman sekalian.



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
 BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN AN- NAHYU................................................................. 2
II.1 pengertian an nahyu................................................................................... 2
II.2 petunjukan nahyu....................................................................................... 3
II.3 pengelompokan nahyu............................................................................... 4
II. 4 penggunaan nahyu dan kaidahnya........................................................... 5
BAB III PENUTUP................................................................................................. 8
III.1 Kesimpulan.............................................................................................. 8
III.2 Saran........................................................................................................ 8
III.3 Daftar Pustaka......................................................................................... 9



BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Dalam ushul fiqh terdapat hukum-hukum yang berkenaan dengan syari’at islam, yang mana ketentuan-ketentuannya berkaitan dengan al-qur’an dan hadist. Adapun istilah-istilah dalam ushul fiqh terdapar bermacam-macam pengetahuan tentang ilmu-ilmu ang berkenaan dengan syri’at Islam itu sendiri. Dalam ilmu ushul fiqh juga terdapat pembahasan tentang lafadz-lafadz Amr (perintah) atau Nahyu (larangann). Untuk mengetahui hukum-hukum atau syari’at yang mengandung Amr (perintah) atau Nahyu (larangann) perlu adanya penjelasan mengenai hal tersebut agar kita dapat memgetahui khitobnya. Berikut kami akan mencoba menjelaskan / mambahas tentang Nahyu secara rinci.


BAB II
PEMBAHASAN
An-Nahyu
1.     Pengertian An-Nahyu
Menurut Ulama Ushul definisi Nahyu adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan. Dalam arti lain Nahyu yakni menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Dengan demikian, larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus-menerus, karena pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah Nahyu.
Hal tersebut merupakan ijma’ dari Ulama’ masa sahabat dan tabi’in, mereka menetapkan bahwa Nahyu itu menuntut agar meninggalkan yang dilarang secara langsung dan terus-menerus.
 Banyak ulama yang mendefinisikan makna al-nahyu diantaranya: Zaky Al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk berbuat. Sementara itu, Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan Al-Nahyu adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan. Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai berikut: Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya menjelaskanbahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
2.     Pengelompokan Nahyu
Secara garis besar Nahyu dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu :
a. Nahyu itu berada secara muthlak
Bentuk Nahyu secara muthlak ini ada dua macam yaitu pertama, larangan yang bersifat perbuatan indrawi dan yang kedua, adalah tindakan syara’.
• Perbuatan indrawi adalah suatu perbuatan yang dapat diletahui secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’
• Tindakan syara’ adalah segala perbuatan yang wujudnya bergantung pada syara’
b. Nahyu itu kembali lepada dzatiyah perbuatan
c. Nahyu yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya.
d. Nahyu kembali pada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa berpisah    dari perbuatan yang lainnya.
Pendapat Jumhur Ulama’ Nahyu dapat dikelompokkan kepada beberapa bentuk larangan menuntut jenis perbuatannya, yaitu :
a. Suatu larangan bila berlaku dalam ibadah yang berakibat membatalkan hal tersebut pada hari yang dilarang.
b. Bila larangan itu mengenai muamalat dalam arti umum, berakibat fasidnya perbuatan yamg dilarang jika dilakukan pada saat-saat terlarang selama larangan itu tidak mengenai akad itu sendiri atau unsur dalam atau unsur luarnya yang merupakan bagian dari kelazimannya.
c. Bila larangan mengenai zat dari akad suatu perbuatan atau mengenai unsur dalamnya atau mengenai unsur luarnya yang menjadi kelaziman, maka larangan tersebut berakibat fasidnya perbuatan yang dilarang bila dilakukan.


3. Penunjukan Nahyu
Dalam Al-Qur;an, Nahyu yang menggunakan kata larang mengandung beberapa maksud :
a. Untuh hukum haram (حرام) , contohnya Firman Allah dalam Surat Al-Isra’: 53
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)”
b. Untuk makruh (كراهة) contoh dalan sabda Nabi SAW :
لا يَمَسَّنَّ اَحَدُكُمْ ذَكَرُهُ بِيَميْنِهِ وَهَويَبُولُ
Diantara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika sedang buang air kecil”
c. Untuk mendidik (ارشاد),
contohnya firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 101
“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”.
d.Untuk do’a (دعاء),
contohnya Firman Allah dalam Surat Ali-Imron : 8
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami”
e. Untuk merendahkan (تحقير ),
contohnya Firman Allah dalam Surat Al-Hijr: 88
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu)”

f. Untuk penjelasan akibat (بيان العقبة ),
contohnya Firman Allah dalam Surat Ibrahin : 42
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim”
g. Untuk keputus asaan (الياس ), contohnya Firman Allah dalam Surat At-Tahrim : 7
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.”

4.  Penggunaan Al-Nahyu Dan Kaidah-Kaidahnya
A.                Penggunaan Al-Nahyu
Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untukbeberapa arti, yaitu7 1. Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan, atau tidak boleh dilakukan . Misalnya firman Allah: Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32) 2. Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang , tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil.
a.         Untuk menyatakan do’a atau permohonan .
Misalnya: Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).
b.    Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan
 misalnya firman Allah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).
c.       Menyatakan ancaman.
Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat. 6. Menyatakan hinaan atau merendahkan . Misalnya firman Allah: Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (QS. Thaha: 131). Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan . Misalnya firman Allah: Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).
d.   Untuk menyatakan keputusasaan .
Misalnya firman Allah: Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)

B.            Kaidah-Kaidah Penggunaannya
Para ulama ushul fiqih,seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh,merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan, antara lain: Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan menunjukkanhukum melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukumlain. Contohnya,ayat 151 surah Al-An’am : Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).(QS.Al- An’am/6:151). Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram adalah ayat 9 suarah Jumu’ah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui(QS.Al-Jumu’ah/62:9).
Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul fiqih menunjukkan hukum makruh karena ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditujukan kepada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya,yaitu adanya kekhawatiran akan melakukan seseorang dari bersegera pergi shalat jum’at. Olehkarena itu,orang tidak wajib shalat jum’at seperti wanita tidak dilarang melakukan jual beli. Kaidah kedua,” ”,suatu larangan menunjukkan fasad(rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Shaleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul fiqih bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina,larangan menjual bangkai,dan dalam masalah ibadah seperti larangan beribadah dalam keadaan berhadas,baik kecil maupun besar. Larangan-larangan dalam hl-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidaktertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada hal-hal yang berada diluarnya. Misalnya,larangan jual beli waktu adzan Jum’at dan larangan menyetubuhi istri yang sedang had.
Menurut kalangan Imam Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah, larangan seperti in i tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu jika tetap dilakukan.
Sedangkan menurut sebagian kalangan Imam Hanbali dan Imam Zahiri, larangan dalam bentuk ini menunjukkan hukum batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan seperti tersebut diatas. Alasannya, melakukan suatu yang dilarang baik terhadap esensinya maupun terhadap sesuatuyang bukan esensinya adalah sama-sama melanggar ketentuan syari’at,dan oleh karena ituhukumnya batal. Berdasarkan pendapat ini, melakukan ibadah dengan pakaian hasil curianadalah batal. Kaidah ketiga” ”, suatu larangan terhadap perbuatan berartiperintah terhadap kebalikannya. Contoh,ayat 18 surah Luqman: Artinya:Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS.Luqman/31:18)



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama diatas pada hakikatnya menjelaskan bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agartidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkandalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nahy dari larangan dengan sifat yang lazim mengharuskan fasadnya setiap amalan. Mereka menyebutkan dengan fasid dan bathil,karenanya pandangan nahy pada zat perbuatan yaitu dilarang oleh agama dan segala perbuatannya tidak menghasilkan apa-apa.
B.   Saran
pemakalah berharap dengan adanya makalah ini pembaca dapat menggunakannya dengan baik, serta berguna bagi kedepannya. pemakalah juga mengharapkan masukan dari para pembaca, guna memperbaiki dan meminimalkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemakalah.


DAFTAR PUSTAKA
Munawar,Said Agil Husin,Membangun metodologi ushul fiqh,Ciputat press,Jakarta,cet.I tahun 2004Effendi,satria dan M.Zein,Ushul fiqh,Prenada Media,Jakarta,Cet.I,tahun2005
www.olx.co.id›http://www.scribd.com/doc/51198325/5



Tidak ada komentar:

Posting Komentar