MAKALAH USHUL FIQH
DEFINISI AN-NAHYU, MACAM-MACAM, DAN MASA
BERLAKUNYA AN-NAHYU
DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 : Syafi’i
: Reza Rahmatillah
Ø JURUSAN : TARBIAH
Ø PRODY : PAI
Ø UNIT : A
Ø SEMESTER : 1 ( SATU )
Ø DOSEN PEMBIMBING : RIDWAN, MK.MA
KEMENTERIAN
AGAMA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji sukur kita atas kehadirat ALLAH swt,
karena dengan rahmat dan karunianya saya masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan kepada
dosenpembimbing dan teman-teman sekalian yang telah memberi dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini. Pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan teman-teman sekalian.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN AN- NAHYU................................................................. 2
II.1 pengertian an nahyu................................................................................... 2
II.2 petunjukan nahyu....................................................................................... 3
II.3 pengelompokan
nahyu............................................................................... 4
II. 4 penggunaan nahyu dan kaidahnya........................................................... 5
BAB III PENUTUP................................................................................................. 8
III.1 Kesimpulan.............................................................................................. 8
III.2 Saran........................................................................................................ 8
III.3
Daftar Pustaka......................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam ushul fiqh
terdapat hukum-hukum yang berkenaan dengan syari’at islam, yang mana
ketentuan-ketentuannya berkaitan dengan al-qur’an dan hadist. Adapun
istilah-istilah dalam ushul fiqh terdapar bermacam-macam pengetahuan tentang
ilmu-ilmu ang berkenaan dengan syri’at Islam itu sendiri. Dalam ilmu ushul fiqh
juga terdapat pembahasan tentang lafadz-lafadz Amr (perintah) atau Nahyu
(larangann). Untuk mengetahui hukum-hukum atau syari’at yang mengandung Amr
(perintah) atau Nahyu (larangann) perlu adanya penjelasan mengenai hal tersebut
agar kita dapat memgetahui khitobnya. Berikut kami akan mencoba menjelaskan /
mambahas tentang Nahyu secara rinci.
BAB II
PEMBAHASAN
An-Nahyu
1.
Pengertian An-Nahyu
Menurut
Ulama Ushul definisi Nahyu adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada
bawahan. Dalam arti lain Nahyu yakni menuntut untuk tidak melakukan yang
dilarang secara tetap dan pasti.
Dengan
demikian, larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan
terus-menerus, karena pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk
dilalah Nahyu.
Hal
tersebut merupakan ijma’ dari Ulama’ masa sahabat dan tabi’in, mereka menetapkan
bahwa Nahyu itu menuntut agar meninggalkan yang dilarang secara langsung dan
terus-menerus.
Banyak ulama yang mendefinisikan makna
al-nahyu diantaranya: Zaky Al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan al-Nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk berbuat.
Sementara itu, Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan
Al-Nahyu adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan
perbuatan. Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai berikut: Larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal
itu. Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya
menjelaskanbahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau
mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i
yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
2.
Pengelompokan Nahyu
Secara garis besar
Nahyu dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu :
a. Nahyu itu berada secara muthlak
a. Nahyu itu berada secara muthlak
Bentuk Nahyu secara muthlak ini ada dua macam yaitu
pertama, larangan yang bersifat perbuatan indrawi dan yang kedua, adalah
tindakan syara’.
• Perbuatan indrawi adalah suatu perbuatan yang
dapat diletahui secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’
• Tindakan syara’ adalah segala perbuatan yang
wujudnya bergantung pada syara’
b. Nahyu itu kembali lepada dzatiyah perbuatan
c. Nahyu yang melekat pada sesuatu yang dilarang,
bukan pada pokoknya.
d. Nahyu kembali pada sifat yang berkaitan dengan
suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa berpisah dari perbuatan yang lainnya.
Pendapat Jumhur Ulama’ Nahyu dapat dikelompokkan
kepada beberapa bentuk larangan menuntut jenis perbuatannya, yaitu :
a. Suatu larangan bila berlaku dalam ibadah yang
berakibat membatalkan hal tersebut pada hari yang dilarang.
b. Bila larangan itu mengenai muamalat dalam arti
umum, berakibat fasidnya perbuatan yamg dilarang jika dilakukan pada saat-saat
terlarang selama larangan itu tidak mengenai akad itu sendiri atau unsur dalam
atau unsur luarnya yang merupakan bagian dari kelazimannya.
c. Bila larangan mengenai zat dari akad suatu
perbuatan atau mengenai unsur dalamnya atau mengenai unsur luarnya yang menjadi
kelaziman, maka larangan tersebut berakibat fasidnya perbuatan yang dilarang
bila dilakukan.
3. Penunjukan Nahyu
Dalam
Al-Qur;an, Nahyu yang menggunakan kata larang mengandung beberapa maksud :
a.
Untuh hukum haram (حرام) , contohnya Firman
Allah dalam Surat Al-Isra’: 53
“Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)”
b.
Untuk makruh (كراهة) contoh dalan
sabda Nabi SAW :
لا يَمَسَّنَّ اَحَدُكُمْ ذَكَرُهُ بِيَميْنِهِ وَهَويَبُولُ
“Diantara kamu sekalian jangan memegang
kemaluannya dengan tangan kanan ketika sedang buang air kecil”
c.
Untuk mendidik (ارشاد),
contohnya
firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 101
“Janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu”.
d.Untuk
do’a (دعاء),
contohnya
Firman Allah dalam Surat Ali-Imron : 8
"Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada Kami”
e.
Untuk merendahkan (تحقير ),
contohnya
Firman Allah dalam Surat Al-Hijr: 88
“Janganlah sekali-kali
kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu)”
f.
Untuk penjelasan akibat (بيان العقبة ),
contohnya
Firman Allah dalam Surat Ibrahin : 42
“Dan janganlah
sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat
oleh orang-orang yang zalim”
g.
Untuk keputus asaan (الياس ), contohnya
Firman Allah dalam Surat At-Tahrim : 7
“Hai orang-orang kafir,
janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.”
4. Penggunaan Al-Nahyu Dan Kaidah-Kaidahnya
A.
Penggunaan Al-Nahyu
Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa
para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untukbeberapa arti, yaitu7 1. Untuk
menyatakan haramnya suatu perbuatan, atau tidak boleh dilakukan . Misalnya
firman Allah: Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’:
32) 2. Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang , tetapi jika dikerjakan
tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi
disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang
air kecil.
a.
Untuk menyatakan do’a atau
permohonan .
Misalnya:
Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada
kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).
b. Menyatakan
dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan
misalnya firman Allah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya
akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).
c. Menyatakan
ancaman.
Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti
agar tidak berbuat. 6. Menyatakan hinaan atau merendahkan . Misalnya firman
Allah: Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah
kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan
dunia. (QS. Thaha: 131). Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan .
Misalnya firman Allah: Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa
Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).
d. Untuk
menyatakan keputusasaan .
Misalnya firman Allah: Artinya:
wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya
kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)
B.
Kaidah-Kaidah Penggunaannya
Para ulama ushul fiqih,seperti
dikemukakan Muhammad Adib Shaleh,merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan
dengan larangan, antara lain: Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan
menunjukkanhukum melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang
menunjukkan hukumlain. Contohnya,ayat 151 surah Al-An’am : Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).(QS.Al-
An’am/6:151). Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum
selain haram adalah ayat 9 suarah Jumu’ah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui(QS.Al-Jumu’ah/62:9).
Larangan berjual beli dalam ayat
tersebut menurut mayoritas ulama Ushul fiqih menunjukkan hukum makruh karena
ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditujukan kepada esensi jual
beli itu sendiri tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya,yaitu adanya
kekhawatiran akan melakukan seseorang dari bersegera pergi shalat jum’at.
Olehkarena itu,orang tidak wajib shalat jum’at seperti wanita tidak dilarang
melakukan jual beli. Kaidah kedua,” ”,suatu larangan menunjukkan fasad(rusak)
perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib
Shaleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul fiqih bilamana
larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap
hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat
ialah larangan berzina,larangan menjual bangkai,dan dalam masalah ibadah
seperti larangan beribadah dalam keadaan berhadas,baik kecil maupun besar.
Larangan-larangan dalam hl-hal tersebut menunjukkan batalnya
perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat
bilamana larangan itu tidaktertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada
hal-hal yang berada diluarnya. Misalnya,larangan jual beli waktu adzan Jum’at
dan larangan menyetubuhi istri yang sedang had.
Menurut kalangan Imam Hanafiyah, Syafi’iyah,
dan Malikiyah, larangan seperti in i tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu
jika tetap dilakukan.
Sedangkan menurut sebagian kalangan
Imam Hanbali dan Imam Zahiri, larangan dalam bentuk ini menunjukkan hukum
batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan seperti tersebut
diatas. Alasannya, melakukan suatu yang dilarang baik terhadap esensinya maupun
terhadap sesuatuyang bukan esensinya adalah sama-sama melanggar ketentuan
syari’at,dan oleh karena ituhukumnya batal. Berdasarkan pendapat ini, melakukan
ibadah dengan pakaian hasil curianadalah batal. Kaidah ketiga” ”, suatu
larangan terhadap perbuatan berartiperintah terhadap kebalikannya. Contoh,ayat
18 surah Luqman: Artinya:Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS.Luqman/31:18)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari banyak pengertian yang
diberikan para ulama diatas pada hakikatnya menjelaskan bahwa al-Nahy itu
adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agartidak melakukan perbuatan
dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkandalam nash yaitu
al-Quran dan al-Sunnah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nahy dari larangan
dengan sifat yang lazim mengharuskan fasadnya setiap amalan. Mereka menyebutkan
dengan fasid dan bathil,karenanya pandangan nahy pada zat perbuatan yaitu
dilarang oleh agama dan segala perbuatannya tidak menghasilkan apa-apa.
B.
Saran
pemakalah berharap dengan adanya makalah ini
pembaca dapat menggunakannya dengan baik, serta berguna bagi kedepannya.
pemakalah juga mengharapkan masukan dari para pembaca, guna memperbaiki dan
meminimalkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Munawar,Said Agil Husin,Membangun metodologi ushul
fiqh,Ciputat press,Jakarta,cet.I tahun 2004Effendi,satria dan M.Zein,Ushul
fiqh,Prenada Media,Jakarta,Cet.I,tahun2005
www.olx.co.id›http://www.scribd.com/doc/51198325/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar