MAKALAH
“Sejarah
Peradaban Islam”
Islam Indonesia Pada Masa Revolusi Dan Peran Islam
Dalam Kemerdekaan Indonesia
Serta Peradabaan Islam Dan Negara Pancasila
Ø DISUSUN
OLEH : REZA RAHMATILLAH
Ø JURUSAN : PAI
Ø PRODY
: TARBIAH
Ø UNIT
: A
Ø SEMESTER
: 1 ( SATU )
DOSEN
PEMBIMBING : PADHILAWATI S.Ag
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2013
BAB I
A. Latar Belakang
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Qadariyah....................................................................
B. Ajaran-Ajaran Qadariyah..........................................................
C. Aliran jabariyah........................................................................................
D. Ajaran-Ajaran Jabariyah..........................................................................
E. Refleksi Faham Qadariyah Dan Jabariyah
Sebuah Perbandingan
Tentang Musibah.....................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................
B. Saran...................................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa
revolusi terdapat banyak sekali tulisan-tulisan yang berkembang dan ditulis
oleh sejarawan-sejarawan nasional pada masa itu. Penulisan-penulisan tersebut
dilakukan, salah satunya ialah untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat
Indonesia yang saat itu sedang menginjak masa-masa kebebasan dari belenggu
penjajajah. Sehingga tidak aneh jika pada historiografi Indonesia masa revolusi
begitu banyak penulisan tentang pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh nasional.
Dalam sejarah Indonesia umat Islam
mempunyai peranan penting, baik dalam mempertahankan negara Indonesia maupun
dalam membangun Negara Republik Indonesia. Selama kurang lebih tiga setengah
abad, Indonesia meringkuk dalam cengkeraman penjajah. Kekayaan alam Indonesia
yang melimpah ruah itu semuanya mengalir ketangan penjajah.
Negara dapat dikatakan sebagai sebuah lembaga purba manusia
yang telah ada sekitar 10.000 tahun yang lalu sejak masyarakat pertanian muncul
di Mesopotamia. Negara-negara tersebut, yang telah lahir mulai sejak ratusan
tahun bahkan ribuan tahun silam, memiliki fungsi dan peran yang sangat beragam,
mulai fungsi dan peran yang baik hingga sebaliknya. Negara yang ideal adalah
Negara yang memiliki selain kemampuan, juga mampu menjalankan fungsi dan peran
idealnya secara maksimal.
B. Tujuan
Pada dasarnya tujuan penyusun makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat umum. Adapun tujuan khusus dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan
kepada pembaca mengenai Indonesia pada masa revolusi dan peran islam dalam
kemerdekaan serta agama dan kekuatan politik masa poloniasme.
C. Rumusan Masalah
A. Islam Indonesia Dalam Masa Revolusi
B.
Peran
Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia
C. Peradaban Islam Dan
Negara Pancasila
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari
bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara
termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[1][16]]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr.
Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.[[2][17]]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi
sekitar tahun 70 H/689M. [[3][18]]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan
kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat
Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[4][19]]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah
sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam Muktazilah.[[5][20]]
B.
Ajaran-Ajaran
Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan
dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai
daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[6][21]]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[7][22]]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda
dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak
azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir
yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat
lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan
tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas.
Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa
barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk
menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah
banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt ÇÍÉÈ
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya
Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa
yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka
kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁ•B ô‰s% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4’¯Tr& #x‹»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ωYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« փωs% ÇÊÏÎÈ
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali
Imran :165)
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î 3
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka,
selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri
mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
C.
Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti
Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur). [[8][3]]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[[9][4]]
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini
muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[10][5]]
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan,[[11][6]]
yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air
yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh
hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.[[12][7]]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian
masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka
sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[[13][8]]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya
aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan
tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur öä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |Mø‹tBu‘ øŒÎ) |Mø‹tBu‘ ÆÅ3»s9ur ©!$# 4’tGu‘ 4 u’Í?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ìì‹ÏJy™ ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ
“ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin,
dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJ‹Å3ym ÇÌÉÈ
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar
juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi
melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin
al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu
berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar
kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu
Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan
tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali
bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan
pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin)
itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.
Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan.
Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau
itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan
ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi
orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah
mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[[14][9]]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah
muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan
mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari
pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen
bermazhab Yacobit.[[15][10]]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai
paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya
pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai
reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya,
telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan
ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang
berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
[[16][11]]
D.
Ajaran-Ajaran
Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin
Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka
tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya
adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep
yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah
tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan
melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak.[[17][12]]
Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah
Khalisah.[[18][13]]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah
adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan
kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[19][14]]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim
mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan
kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki
oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh
lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang
diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan
Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat
lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[20][15]]
E.
Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah
: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki
sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan
oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa
perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam
paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah
disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah
disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham
teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) -
sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits
Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin,
seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim
yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya
sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang
menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat
terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan
bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah
condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek
masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi
sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan
oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat
besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia
harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain
manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus
bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di
dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu
pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena
menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah,
sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah
dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa
dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.
[1][16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata,
op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68
[10][5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4,
h. 239
[11][6]
Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli
sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan
tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya
dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[16][11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif,
1977), h. 335
[17][12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga
Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi
dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80
[18][13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon:
Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);
[20][15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar
Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 75 BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari
bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara
termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[1][16]]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr.
Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.[[2][17]]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi
sekitar tahun 70 H/689M. [[3][18]]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan
kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat
Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[4][19]]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah
sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam Muktazilah.[[5][20]]
B.
Ajaran-Ajaran
Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan
dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai
daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[6][21]]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[7][22]]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda
dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak
azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir
yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat
lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan
tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas.
Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa
barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk
menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah
banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt ÇÍÉÈ
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya
Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa
yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka
kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁ•B ô‰s% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4’¯Tr& #x‹»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ωYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« փωs% ÇÊÏÎÈ
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali
Imran :165)
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î 3
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka,
selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri
mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
C.
Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti
Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur). [[8][3]]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[[9][4]]
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini
muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[10][5]]
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan,[[11][6]]
yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air
yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh
hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.[[12][7]]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian
masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka
sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[[13][8]]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya
aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan
tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur öä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |Mø‹tBu‘ øŒÎ) |Mø‹tBu‘ ÆÅ3»s9ur ©!$# 4’tGu‘ 4 u’Í?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ìì‹ÏJy™ ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ
“ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin,
dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJ‹Å3ym ÇÌÉÈ
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar
juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi
melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin
al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu
berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar
kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu
Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan
tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali
bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan
pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin)
itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.
Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan.
Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau
itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan
ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi
orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah
mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[[14][9]]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah
muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan
mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari
pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen
bermazhab Yacobit.[[15][10]]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai
paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya
pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai
reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya,
telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan
ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang
berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
[[16][11]]
D.
Ajaran-Ajaran
Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin
Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka
tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya
adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep
yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah
tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan
melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak.[[17][12]]
Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah
Khalisah.[[18][13]]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah
adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan
kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[19][14]]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim
mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan
kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki
oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh
lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang
diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan
Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat
lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[20][15]]
E.
Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah
: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki
sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan
oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa
perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam
paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah
disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah
disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham
teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) -
sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits
Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin,
seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim
yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya
sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang
menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat
terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan
bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah
condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek
masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi
sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan
oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat
besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia
harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain
manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus
bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di
dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu
pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena
menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah,
sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah
dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa
dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut
penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah
yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah
ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat
tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat
meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu
tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah
yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam
langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai
golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu
pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman
terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah
manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran,
ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah
dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa
mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan
dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan
diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan
mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika
dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan
dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah
dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
B.
Saran
Didalam pembuatan makalah ini kami masih banyak mendapatkan
kesulitan. Dan kepada Dosen pengajar dan rekan-rekan sekalian, kami selaku
pemapar menyadari masih benyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kami
masi mengharapkan saran dan arahan dari rekan-rekan sekalian.
[1][16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata,
op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68
[10][5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4,
h. 239
[11][6]
Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli
sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan
tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya
dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[16][11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif,
1977), h. 335
[17][12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga
Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi
dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80
[18][13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon:
Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);
[20][15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar
Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar