MEMENUHI TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH SEJARAH
PERADAPAN ISLAM
“PERADABAN
ISLAM INDONESIA PASKA KEMERDEKAAN”
Ø DISUSUN
OLEH : REZA RAHMATILLAH
Ø JURUSAN : PAI
Ø PRODY
: TARBIAH
Ø UNIT
: A
Ø SEMESTER
: 1 ( SATU )
DOSEN
PEMBIMBING : PADHILAWATI S.Ag
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN
GPA) TAHUN AJARAN 2013/2013
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peradaban Islam Indonesia Paska Kemerdekaan”. Serta shalawat dan
salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia
dari alam jahilyah ke alam berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah ini saya susun berdasarkan beberapa
buku,penyusunan /pembuatan. Adapun penyajian materi ini sangat sederhana dan
sebaik mungkin tanpa melupakan tujuan agar mudah di pahami dan dimengerti untuk mengetahui isi materi yang dipelajari.
saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan isi makalah ini.
Akhirnya saya menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,agama dan Negara. Dengan rahmat
serta hidayah-Nya, makalah ini merupakan karya yang diridhoi-Nya. Amin Ya
Robbal’alamin.
Takengon, Nopember 2013
Hormat
saya,
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa
revolusi terdapat banyak sekali tulisan-tulisan yang berkembang dan ditulis
oleh sejarawan-sejarawan nasional pada masa itu. Penulisan-penulisan tersebut
dilakukan, salah satunya ialah untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat
Indonesia yang saat itu sedang menginjak masa-masa kebebasan dari belenggu
penjajajah. Sehingga tidak aneh jika pada historiografi Indonesia masa revolusi
begitu banyak penulisan tentang pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh nasional.
Dalam sejarah Indonesia umat Islam
mempunyai peranan penting, baik dalam mempertahankan negara Indonesia maupun
dalam membangun Negara Republik Indonesia. Selama kurang lebih tiga setengah
abad, Indonesia meringkuk dalam cengkeraman penjajah. Kekayaan alam Indonesia
yang melimpah ruah itu semuanya mengalir ketangan penjajah.
Negara dapat dikatakan sebagai sebuah lembaga purba manusia
yang telah ada sekitar 10.000 tahun yang lalu sejak masyarakat pertanian muncul
di Mesopotamia. Negara-negara tersebut, yang telah lahir mulai sejak ratusan
tahun bahkan ribuan tahun silam, memiliki fungsi dan peran yang sangat beragam,
mulai fungsi dan peran yang baik hingga sebaliknya. Negara yang ideal adalah
Negara yang memiliki selain kemampuan, juga mampu menjalankan fungsi dan peran
idealnya secara maksimal.
B. Tujuan
Pada dasarnya tujuan penyusun makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat umum. Adapun tujuan khusus dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan
kepada pembaca mengenai Indonesia pada masa revolusi dan peran islam dalam
kemerdekaan serta agama dan kekuatan politik masa poloniasme.
C. Rumusan Masalah
A. Islam Indonesia Dalam Masa Revolusi
B.
Peran
Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia
C. Peradaban Islam Dan
Negara Pancasila
BAB
II
PEMBAHASAN
Peradaban
Islam Indonesia Paska Kemerdekaan
A.
Islam
Indonesia Dalam Masa Revolusi
Pada masa revolusi terdapat banyak sekali tulisan-tulisan
yang berkembang dan ditulis oleh sejarawan-sejarawan nasional pada masa itu.
Penulisan-penulisan tersebut dilakukan, salah satunya ialah untuk meningkatkan
rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang saat itu sedang menginjak masa-masa
kebebasan dari belenggu penjajajah. Sehingga tidak aneh jika pada historiografi
Indonesia masa revolusi begitu banyak penulisan tentang pahlawan-pahlawan dan
tokoh-tokoh nasional. Tokoh-tokoh nasional ini dijadikan simbol nasionalisme
dan identitas bangsa.[1]
Penulisan
pada masa revolusi ini merupakan historiografi peralihan dari historiografi
tradisional ke historiografi modern. Pada historiografi masa revolusi ini
penulisannya sudah bukan lagi berbicara tentang mitos-mitos dan religius, akan
tetapi sudah mulai memasuki babakan penulisan ke arah penulisan modern.
Peralihan historiografi ini menunjukkkan bahwa dari bangsa Indonesia sendiri
memiliki orang-orang yang mau menulis peristiwa sejarah yang benar sesuai
fakta.[2]
Dalam
setiap perkembangannya Historiografi di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri
baik dalam tulisan maupun tata cara penulisannya, begitu juga yang terjadi
dalam penulisan sejarah pasca revolusi. Menurut Sartono Kartodirjo dalam
bukunya Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia (1982:23. Literatur
sejarah sejak Proklamasi mengalami “booming period”, hal yang belum pernah
terjadi dalam sejarah historiografi Indonesia.
Historiografi
pada masa revolusi memiliki banyak ciri yang membedakannya dengan historiografi
pada masa sebelumnya maupun
sesesudahnya. Adapun ciri historiografi pada masa revolusi ialah sebagai
berikut:
1. Penulisannya bersifat
Indonesiasentris bukan Eropasentris.
2. Banyak biografi dari tokoh maupun
pahlawan nasional yang diterbitkan,
seperti Teuku umar, Imam Bonjol, Patimura, Diponegoro, dan masih banyak
lainnya.
3. Tulisan merupakan ekspresi dalam
semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi.
4. Tokoh-tokoh nasional menjadi simbol
kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa
kolonial. (Kartodirjo, 1982:23).
B.
Peran Islam Dalam Kemerdekaan
Indonesia
Dalam sejarah Indonesia umat Islam mempunyai peranan
penting, baik dalam mempertahankan negara Indonesia maupun dalam membangun
Negara Republik Indonesia. Selama kurang lebih tiga setengah abad, Indonesia
meringkuk dalam cengkeraman penjajah. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah
itu semuanya mengalir ketangan penjajah. Kemudian penjajah itu bukan saja
menjajah politik bangsa saja, tetapi juga menjajah hak asasi bangsa Indonesia
yang paling dasar bagi umat Islam, yaitu menjajah faham-faham agama Islam untuk
ditukar dengan faham Komunisme , Liberalisme, dan agama lain. Sejak semula, api
kepahlawanan berkobar menentang penjajah. Ini merupakan ciri semangat jihad
umat Islam yang sama sekali bertentangan dengan ide-ide penjajah maupun
tekanan-tekanan yang menimpa diri umat Islam.[3]
Perlawanan terhadap penjajah itu sudah
dimulai sejak bangsa-bangsa asing tersebut mulai mencengkeram bangsa pribumi.
Dalam abad ke 17 sampai 19 perlawanan umat Islam sudah dilakukan dan dipelopori
oleh tokoh-tokoh pahlawan Islam, seperti Sultan Agung (Mataram), Sultan Agung
Tirtayasa dan Ki Tapa (Banten), Sultan Hassanuddin (Makassar), Teuku Cik Ditiro
(Aceh), Teuku Imam Bonjol (Minangkabau) dan para Kyai diseluruh pondok
pesantren, terutama dikalangan santri santri pulau Jawa. Patriot-patriot bangsa
ini dapat dilihat semangatnya dalam mencapai kemerdekaan, telah menggema
keseluruh nusantara. Pahlawan-pahlawan itu merupakan embrio gerakan Nasional
secara keseluruhan dalam menentang penjajah, sebab dengan rasa senasib
terjajahnya umat Islam, mereka merasa satu se-Nusantara tanpa melihat dari
daerah mana mereka berjuang.[4]
Bangsa
Indonesia mempunyai semangat persatuan Islam yang amat kuat untuk dapat
mengusir penjajah Belanda. Waktu bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, musuh-musuh Republik Indonesia masih berusaha
menggagalkan arti dari pada proklamasi kemerdekaan tersebut. Untuk
mempertahankan proklamasi Rois Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari menyerukan resolusi
jihad. Dengan dicetuskannya resolusi jihad, maka semangat umat islam membela
kemerdekaan berkobar di seluruh tanah air. Pemuda-pemuda Islam menggabungkan
diri kedalam pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh Zainal Arifin, orang Islam
dari kalangan bergabung didalam barisan “Sabilillah” dibawah pimpinan K.H.
Masykur. Para Kyai bergabung dalam barisan “Mujahidin” dibawah pimpinan K.H.
Wahab Hasbullah.[5]
Dalam
kancah revolusi Indonesia 1945-1949, mereka menjadi pengawal Revolusi dalam
merebut persenjataan Jepang untuk melawan agresi sekutu, terutama pada
pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kemudian mereka terbentuk dalam Badan
Keamanan Rakyat (BKR), akhirnya menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Pada waktu Belanda menyerbu Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948, menurut
perhitungan politik Bung Karno, Syahrir, H.AgusSalim, Muhammad Roem, As-Saat,
dan lain –lain.
Para Pemimpin membiarkan diri untuk ditangkap Belanda dan di
asingkan ke Prapat dan Bangka. Sedangkan Pak Dirman harus keluar kota memimpin
perang gerilya dan Mr. Syariffudin Prawiranegara menjalankan mandate memimpin
pemerintah darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi, Sumatra Barat.[6]
Agresi
Belanda pada tahun 1948 ke Yogyakarta itu membawa korban ribuan pemuda
Indonesia yang gugur syahid mempertahankan kemerdekaan tanah air. Dari istilah
“syahid” itulah kemudian pada tahun 1950 dibentuk panitia pembangunan Masjid
Syuhada yang diketahui oleh Mr. As-Saat Dt. Mudo di Yogyakarta. Karena besarnya
minat dalam menyelesaikan pembangunan itu, maka Masjid Syuhada dapat
diselesaikan dua tahun dan diresmikan 1 Muharram 1377 H/ (20 September 1952 M).
Dalam proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, secara jelas dapat digariskan
peranan umat Islam sebagai berikut, yaitu :
1. Sumber Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Piagam
Jakarta 22 Juni 1945. Piagam tersebut kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945
dengan perubahan beberapa kata. Sedangkan mengenai sumbangan isi dan
penandatanganan Piagam Jakarta itu, tokoh-tokoh Islam mempunyai peranan penting
atas penanada tanganannya tersebut.
2. Pada saat diproklamirkan juga dihadiri oleh tokoh-tokoh umat
Islam.
3. Masih dalam suasana Proklamasi itu, pada tanggal 18 Agustus
1945, sidang PPKI memilih Bung Karno sebagai Presiden RI dan Bung Hatta sebagai
wakil Presiden. Dalam siding tersebut juga membentuk Komite Nasional Pusat
(KNIP) dengan Mr. Kasman Singidimejo sebagai ketuanya.
Maka umat Islam mempunyai peranan yang besar dalam peristiwa
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
C.
Peradaban Islam Dan Negara
Pancasila
Berdasarkan
fakta sejarah, Islam di Indonesia dan Indonesia itu sendiri, memiliki beberapa
persamaan mendasar.[7]
Hal itu juga yang mengakibatkan mengapa Islam pada awal masuknya di Indonesia
dapat diterima oleh masyarakat nusantara pada waktu itu, hingga tumbuh dan
berkembang sampai pada puncak kuantitasnya sekarang. Ekspansi Islam di
Indonesia pada awalnya memang dapat dikatakan sebagai tantangan teologis,
politis dan kebudayaan pada waktu itu, yang dibuktikan dengan beberapa
perlawanan yang juga sempat muncul pada waktu itu.[8]
Pertentangan antara Islam dan masyarakat Indonesia pada waktu itu, sebenarnya
lebih sebagai proses akulturasi dari pada pertentangan yang bersifat penolakan.
Dapat
diterimanya Islam oleh masyarakat Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari
adanya kesesuaian antara kandungan ajaran Islam dengan prinsip-prinsip, tradisi
dan budaya serta filosofi kehidupan dalam wilayah substansinya. Sebagai contoh
misalnya, bagaimana masyarakat Indonesia memiliki prinsip gotong royong, tepo
sliro, mikul dhuwur mendem jero,[9]
keberagaman, serta masih banyak lagi beberapa nilai, prinsip maupun
tradisi-tradisi yang pada hakekatnya sama dengan kandungan ajaran Islam.
Mengenai gotong royong, Islam juga mengajarkan hal yang sama, mengenai tepo
sliro dan mikul dhuwur mendem jero, Islam pun memerintahkan kepada
seluruh Muslim untuk saling menghormati, menghargai, dan menyayangi sesamanya.[10]
Pada
dasarnya, telah ditemukan sintesis yang paling memungkinkan dari proses
dialektika antara Islam dan Indonesia. Sejarah pun mencatat bahwa beberapa
Negara yang besar dan mampu bertahan bahkan menguasai dunia adalah Negara yang
memiliki basis nilai yang kuat, dan Islam menyediakan itu semua untuk bangsa
Indonesia. Memang Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai pedoman teknis
tentang Negara, tetapi Islam memiliki nilai-nilai yang dapat diadopsi kemudian
dikontekstualisasikan ke dalam dinamika kehidupan kebangsaan di Indonesia.
Kemerdekaan dan kemajuan yang selama ini telah dirasakan
oleh bangsa Indonesia pun, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peran para
pendahulu yang mayoritas dari mereka adalah Muslim, dan mereka menjadikan Islam
sebagai kerangka utama dari bangunan pemikiran serta aktifitas-aktifitas mereka
dalam mewujudkan Indonesia yang ideal.[11] Mereka
telah mencoba mendialektikakan antara Islam dengan Indonesia. Meskipun belum
sepenuhnya berhasil, namun mereka telah berhasil menawarkan beberapa tawaran
alternatif mengenai bentuk Negara yang paling ideal untuk Indonesia. Apakah
Indonesia hari ini telah mencapai bentuk negaranya yang final, terlalu dini
untuk mengatakan demikian. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang masih
selalu dalam fase eksperimentasi, tahap pencarian bentuk atau format Negara
yang paling tepat, minimal untuk sementara waktu. Oleh karena itu, menjadi
peluang besar, jika Islam coba untuk digali kembali khasanahnya, kemudian
diobjektifikasikan untuk menjawab berbagai kebutuhan bangsa. Tidak menutup
kemungkinan, Indonesia ke depan akan lebih baik
dari yang ada saat ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui refleksi dan perenungan panjang terhadap kondisi bangsa Indonesia, pada dasarnya Indonesia sejak dulu telah memiliki modal bagi kemajuan dan perkembangannya. Persoalannya adalah bangsa Indonesia seolah terasa enggan untuk menggali kemudian menerapkan sintesis yang telah ditemukan tersebut. Lemahnya Negara salah satunya disebabkan oleh lemahnya masyarakatnya dalam beberapa aspek. Lemahnya masyarakat disebabkan oleh salah satunya ideology yang masih kabur, serta semakin menurunnya kapasitas etika dan moral.
Oleh karena itu, Islam, jika secara sungguh-sungguh digali kembali kemudian dikontekstualisasikan sehingga mampu dihasilkan sebuah rumusan atau formulasi yang tepat untuk bangsa Indonesia, yang selanjutnyasintesis tersebut secara konsisten dan penuh komitmen dilaksanakan, besar kemungkinan bangsa Indonesia sesegera mungkin akan keluar dari berbagai persoalan yang kini dihadapi, yang salah satunya adalah lemahnya Negara dan masyarakat.
Konsep mengenai Negara-Bangsa untuk Indonesia sangatlah relevan untuk diupayakan. Islam pun memiliki seperangkat nilai yang tidak bertentangan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dalam mewujudkan konsep tersebut. Jika Pancasila benar-benar terinternalisasi dan dilaksanakan secara benar, maka Negara-Bangsa bagi Indonesia bukan lagi suatu hal yang mustahil. Dalam arti Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri. Negara-Bangsa yang selalu lebih mengedepankan kepentingan keadilan dan kemanusiaan warganya, yang sudah tidak lagi bergantung kepada Negara lain sehingga sampai harus mengorbankan rakyatnya.
Dan dengan dicetuskannya resolusi jihad, maka semangat umat islam membela kemerdekaan berkobar di seluruh tanah air. Pemuda-pemuda Islam menggabungkan diri kedalam pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh Zainal Arifin, orang Islam dari kalangan bergabung didalam barisan “Sabilillah” dibawah pimpinan K.H. Masykur. Para Kyai bergabung dalam barisan “Mujahidin” dibawah pimpinan K.H. Wahab Hasbullah.
B. Saran
Didalam pembuatan makalah ini kami masih banyak mendapatkan kesulitan. Dan kepada Dosen pengajar dan rekan-rekan sekalian, kami selaku pemapar menyadari masih benyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kami masi mengharapkan saran dan arahan dari rekan-rekan sekalian.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Anshory, HM. Nasruddin CH. Dekonstruksi
Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan. Yogyakarta: LKIS, 2008.
2. Billah, MM, “ Asas-asas
Membangun Gerakan”, makalah disampaikan dalam Debt Campaign
Training II yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS
Surakarta, dan Gerah Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel &
Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta.
3. Buchori, Mochtar. Indonesia
Mencari Demokrasi. Yogyakarta: INSIST Press, 2005.
4. Esposito, John L. “Benturan Antar Peradaban:
Citra Kontemporer Islam di Barat”, dalam Dialektika Peradaban:
Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2001.
5. Fukuyama, Fancis. Memperkuat
Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
6. Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
7. Madjid, Nurcholis. Indonesia Kita.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
8. _______ Tradisi
Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina,
2008.
9. Marx, Karl. Capital Vol 1,2,3. New
York: International Publisher Co: 1978.
10. Maududi, al-. The Islamic Law and
Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1977)
11. PB HMI, Nilai-nilai Dasar
Perjuangan. Jakarta: PB HMI, 1971.
12. Wahid, Abdurrahman. Islam
Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta:
The Wahid Institute, 2007.
[2]
MM Billah, Asas-asas Membangun
Gerakan, makalah disampaikan dalam Debt Campaign Training II
yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS
[3]
Lihat salah satu penjelasan
Nurcholis Madjid mengenai syirik yang demikian dalam, PB HMI, Nilai-nilai
Dasar Perjuangan islam, (Jakarta: PB HMI, 1971).
[4]
al-Maududi, The Islamic Law and
Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1977).
[5]
Nurcholis Madjid, Tradisi Islam:
Peran dan Fungsinya islam dalam perjuangan kemerdekaaan, (Jakarta:
Paramadina, 2008), hlm. 239.
[6]
MM Billah, Asas-asas Membangun
Gerakan, makalah disampaikan dalam Debt Campaign Training II
yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan
Gerah Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel & Restaurant Mega,
Jl. Proklamasi 40 Jakarta.
[7]
Perlu dipahami bahwa di sini penulis
menyatakan “Islam di indonesia dan Indonesia” bukan “Islam dan Indonesia”. Hal
tersebut untuk membedakan islam yang lebih bersifat universal dengan Islam
dalam konteks Indonesia.
[8]. Lihat, John L. Esposito, “Benturan
Antar Peradaban: Citra Kontemporer Islam di Barat”, dalam Dialektika
Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta:
Penerbit Qalam, 2001), hlm. 125-160.
[9]
Nurcholis Madjid mengenai syirik
yang demikian dalam, PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB
HMI, 1971).
[10]
Salah satu ayat Al-Qur’an
menyebutkan bahwa , “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri…”. Lihat Al-Qur’an, Surat An Nisaa, ayat 36.
[11]
H. Agussalim Nasution, Cokroaminoto,
M. natsir, Buya HAMKA, serta masih banyak lagi yang lain, hampir semua dari
mereka melakukan usaha-usaha dalam melakukan objektifikasi terhadap Islam ke
dalam ruang dan waktu yang kontekstual. Bahkan diantara mereka juga terdapat
Muso (pimpinan PKI tahun 1948), dan Tan Malaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar