Senin, 11 Desember 2017

Kajian Teologis



MAKALAH
 Kajian Teologis
Ø DISUSUN OLEH                                : Reza Rahmatillah
Ø  JURUSAN                                           : TARBIAH
Ø  PRODY                                               : PAI / A
Ø  SEMESTER                                         : 1 ( SATU )

Ø DOSEN PEMBIMBING :  Dra.Kartini, M.A
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Teologi, sebagai mana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diumbang-ambing oleh peredaran zaman. Istilah “Theology Islam” sudah lama dikenal oleh penulis-penulis Barat. Teologi dari segi etimologi mempunyai pengertian “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.[1] Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.[2]
Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.[3]

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana studi kritis terhadap ilmu kalam?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui studi kritis terhadap ilmu kalam.


BAB II
PEMBAHASAN

Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.[4]
A.    Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologis dalam Islam
Pada zaman Rasul saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.[5]
Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.[6] Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan kepada al Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan al Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).[8]
Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap kelompok ahli hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa Alquran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis. Alquran sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan casus belli terhadap tokoh-tokoh ahli hadis. Kecenderungan ini menjadi lebih memungkinkan berkat dukungan yang diberikan para pembantu khalifah, baik karena dasar politik maupun ideologis.[9]
Khalifah al Makmun melaksanakan mihnah (inkuisisi) di kalangan aparat pemerintah yang bertujuan memberlakukan paham bahwa Alquran adalah makhluq. Ketika masalah itu ditanyakan kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia menentang paham tersebut. Karena berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H. Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para perawi hadis pada masa itu yang lantas sependapat dengan al Makmun.
Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmad pun dibebaskan. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar asy Syafi’i, di akhir hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) karena mempertahankan pendapatnya bahwa Alquran bukan makhluq (tidak diciptakan, karena Alquran adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta). Ia kemudian dipenjara hingga wafat.[10]

B.     Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Aliran Utama dan Pendekatannya
a.       Aliran Khawarij
Aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syi’ah datang lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.[11] Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir. Sekte-sekte dalam aliran ini di antaranya ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah, dan sufriyah.

b.      Aliran Murji’ah
Pemimpin utama mazhab Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Sallat al Samman, dan Dirar bin Umar. Tokoh Murji’ah yang moderat antara lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah Jaham bin Shafwan. Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut: iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati; orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir, muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimah syahadat; dan hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.
c.       Aliran Mu’tazilah
Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. [12] Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu: keesaan (at tauhid), keadilan (al ‘adlu), janji dan ancaman (al wa’du wal wa’idu), tempat di antara dua tempat (al manzilatu bainal al manzilataini), menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
d.      Aliran Asy’ariah
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah, ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang mengkonstruksikan ajarannya atas dasar filsafat metafisika. Pokok-pokok pikiran al Asy’ari yang terpenting antara lain ialah: Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an, al Qur’an adalah qadim bukan makhluk (diciptakan). Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Antropomorphisme; Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya tetapi bentuknya tidak sama dengan makhluk. Keadilan Tuhan; Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke surga dan memasukkan orang jahat ke neraka. Muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertobat tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada di antara mukmin dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah.[13]
e.       Aliran Maturidiah
Pengikut dan tokoh besar Maturidiah adalah Abu al Jasr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al Bazdawi (421-493 H). Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al maram oleh al Bayadi dan Usul al Din oleh al Bazdawi.[14] Di antara pemikiran al Maturidi yang penting adalah: Tuhan mempunyai sifat-sifat; pendapat ini sejalan dengan pendapat al Asy’ari; dalam hal ini al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Al Qur’an adalah kalam Allah yang qadim bukan diciptakan sebagaimana paham Mu’tazilah; untuk ini al Maturidi sepaham dengan al Asy’ari. Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu; pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Ia berpendapat seperti pendapat al Asy’ari bahwa muslim yang melakukan dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan tidak pula berada di antara dua tempat. Tuhan tidak akan mungkir terhadap janjinya, pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Antropomorphisme, al Maturidi berpendapat ayat-ayat al Qur’an yang menggambarkan seolah Tuhan mempunyai bentuk jasmani seperti manusia harus ditakwil diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiah. Pendapat ini juga sejalan dengan Mu’tazilah dan bertolak belakang dengan al Asy’ari.[15]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Teologi (Theos/Tuhan+Logos/Ilmu) merupakan rangkaian ilmu tentang Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering dipakai oleh penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai kesamaan dengan ilmu Kalam. Beberapa istilah yang mempunyai keterkaitan dengan teologi/ilmu kalam di antaranya ialah istilah Tauhid, kalam dan ushul al din. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa aliran teologi sebagai akibat dari persoalan politik yang muncul pada saat pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah. Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut hanya beberapa yang bertahan sampai sekarang seiring dengan perkembangan pemikirannya masing-masing.
Islam sebagai sumber kepercayaan memberikan kebebasan kepada akal untuk memahami ajaran-ajaran Islam. Aliran-aliran teologi Islam juga memakai kekuatan akal untuk memahami ajaran Islam. Aliran-aliran utama dalam teologi Islam di antaranya adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah yang masing-masing mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap pemikiran-pemikiran paham mereka. Beberapa pendekatan untuk meneliti aliran-aliran teologi ini di antaranya adalah pendekatan historis (sejarah), pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), pendekatan studi tokoh, dan pendekatan komparatif.
Tokoh-tokoh dalam aliran teologi tersebut meskipun berada dalam satu aliran tetap saja berbeda dalam pokok-pokok ajarannya yang akhirnya menimbulkan perpecahan. Seperti aliran Maturidiah terpecah menjadi Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara.
B.     Saran
Akhirnya makalah  ini dapat diselesaikan dan sudah pasti di dalamnya terdapat kekurangan dan kelemahan, mohon kritik dan saran yang bersifat konstruktif. WaAllahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980

Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan Praktis Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001

Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991

Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992

Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1983

Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Taufik Abdullah, (et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994

Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Rajawali Pers, 1993




[1] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), hal. 11
[2] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), hal. ix
[3] Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 23
[4] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, hal. 12
[5] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hal. xv.
[6] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan Praktis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hal. 121
[7] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 4
[8] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, hal. xvi.
[9] Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 746-747
[10] Taufik Abdullah, (et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 236 dan 238
[11] Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. (Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), hal. 75
[12] A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, hal. 70
[13] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, hal. 122-123
[14] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), hal. 76
[15] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, hal. 128-129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar