MAKALAH
Kajian Teologis
Ø DISUSUN
OLEH : Reza Rahmatillah
Ø JURUSAN
: TARBIAH
Ø PRODY
: PAI / A
Ø SEMESTER
: 1 ( SATU )
Ø
DOSEN
PEMBIMBING : Dra.Kartini, M.A
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI(STAIN
GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teologi, sebagai mana
diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang
ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi
yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi
seseorang keyakinan-keyakinan berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak
mudah diumbang-ambing oleh peredaran zaman. Istilah “Theology Islam” sudah lama
dikenal oleh penulis-penulis Barat. Teologi dari segi etimologi mempunyai
pengertian “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi,
discourse). Jadi teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.[1]
Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi
nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.[2]
Secara terminologi teologi
Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas ushul sebagai
suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya,
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan
dalil-dalil aqal dan meyakinkan.[3]
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang
diangkat dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana studi kritis terhadap
ilmu kalam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuannya adalah untuk
mengetahui studi kritis terhadap ilmu kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
Teologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan
kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.[4]
A. Pertumbuhan dan Perkembangan
Kajian Teologis dalam Islam
Pada zaman Rasul saw
sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem teologis di
kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu baru timbul di zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij,
pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang
menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.[5]
Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa persoalan politik
merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.[6] Khawarij
berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan kepada al
Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan
hukum dengan al Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan
tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat
sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena
mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.[7]
Dalam perkembangan
selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan
sesuatu dengan al Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melakukan
dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari
kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan nama
Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak
kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah,
diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang
berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi
menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).[8]
Masuknya filsafat Yunani
dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh
besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah
mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat
yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat
kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi
dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti
Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan
paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran
Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran
terhadap kelompok ahli hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa
Alquran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di
Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli
hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut.
Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak
mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis. Alquran
sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna
memberikan casus belli terhadap tokoh-tokoh ahli hadis. Kecenderungan ini
menjadi lebih memungkinkan berkat dukungan yang diberikan para pembantu
khalifah, baik karena dasar politik maupun ideologis.[9]
Khalifah al Makmun
melaksanakan mihnah (inkuisisi) di kalangan aparat pemerintah yang bertujuan
memberlakukan paham bahwa Alquran adalah makhluq. Ketika masalah itu ditanyakan
kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia menentang paham tersebut. Karena
berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H.
Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para
perawi hadis pada masa itu yang lantas sependapat dengan al Makmun.
Baru pada tahun 233 H
kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmad pun
dibebaskan. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar
asy Syafi’i, di akhir hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) karena
mempertahankan pendapatnya bahwa Alquran bukan makhluq (tidak diciptakan,
karena Alquran adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta). Ia
kemudian dipenjara hingga wafat.[10]
B. Islam Sebagai Sumber
Kepercayaan
Aliran Utama dan Pendekatannya
a.
Aliran Khawarij
Aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin
Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun
demikian Syi’ah datang lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.[11]
Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij
menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir.
Sekte-sekte dalam aliran ini di antaranya ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat,
Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah, dan sufriyah.
b. Aliran Murji’ah
Pemimpin utama mazhab Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Sallat
al Samman, dan Dirar bin Umar. Tokoh Murji’ah yang moderat antara lain adalah
Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang ekstrem antara lain
ialah Jaham bin Shafwan. Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai
berikut: iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati; orang Islam yang
melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir, muslim tersebut tetap mukmin
selama ia mengakui dua kalimah syahadat; dan hukum terhadap perbuatan manusia
ditangguhkan hingga hari kiamat.
c. Aliran Mu’tazilah
Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai
pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya
atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran
sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua yaitu aliran
Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. [12]
Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan
menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu: keesaan (at tauhid), keadilan (al
‘adlu), janji dan ancaman (al wa’du wal wa’idu), tempat di antara dua tempat
(al manzilatu bainal al manzilataini), menyuruh kebaikan dan melarang keburukan
(amar ma’ruf nahi munkar).
d. Aliran Asy’ariah
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah, ialah karena aliran ini
mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang mengkonstruksikan ajarannya atas dasar
filsafat metafisika. Pokok-pokok pikiran al Asy’ari yang terpenting antara lain
ialah: Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an,
al Qur’an adalah qadim bukan makhluk (diciptakan). Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala di akhirat kelak. Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan bukan
diciptakan oleh manusia itu sendiri. Antropomorphisme; Tuhan bertahta di ‘Arsy,
mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya tetapi bentuknya tidak sama dengan
makhluk. Keadilan Tuhan; Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke surga dan
memasukkan orang jahat ke neraka. Muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal
dunia sebelum sempat bertobat tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada di
antara mukmin dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah.[13]
e. Aliran Maturidiah
Pengikut dan tokoh besar Maturidiah adalah Abu al Jasr Muhammad bin
Muhammad bin Abdul Karim al Bazdawi (421-493 H). Keterangan-keterangan mengenai
pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang
dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al maram oleh al Bayadi dan
Usul al Din oleh al Bazdawi.[14] Di
antara pemikiran al Maturidi yang penting adalah: Tuhan mempunyai sifat-sifat;
pendapat ini sejalan dengan pendapat al Asy’ari; dalam hal ini al Maturidi
sependapat dengan Mu’tazilah. Al Qur’an adalah kalam Allah yang qadim bukan
diciptakan sebagaimana paham Mu’tazilah; untuk ini al Maturidi sepaham dengan
al Asy’ari. Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu; pendapat ini sejalan
dengan Mu’tazilah. Ia berpendapat seperti pendapat al Asy’ari bahwa muslim yang
melakukan dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan tidak pula berada di antara
dua tempat. Tuhan tidak akan mungkir terhadap janjinya, pendapat ini sejalan
dengan Mu’tazilah. Antropomorphisme, al Maturidi berpendapat ayat-ayat al
Qur’an yang menggambarkan seolah Tuhan mempunyai bentuk jasmani seperti manusia
harus ditakwil diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiah. Pendapat ini
juga sejalan dengan Mu’tazilah dan bertolak belakang dengan al Asy’ari.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teologi
(Theos/Tuhan+Logos/Ilmu) merupakan rangkaian ilmu tentang Tuhan atau keTuhanan.
Istilah teologi lebih sering dipakai oleh penulis-penulis barat, oleh
penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai kesamaan dengan ilmu Kalam.
Beberapa istilah yang mempunyai keterkaitan dengan teologi/ilmu kalam di
antaranya ialah istilah Tauhid, kalam dan ushul al din. Awal mula lahirnya ilmu
kalam menumbuhkan beberapa aliran teologi sebagai akibat dari persoalan politik
yang muncul pada saat pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin
Affan sebagai khalifah. Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut
hanya beberapa yang bertahan sampai sekarang seiring dengan perkembangan
pemikirannya masing-masing.
Islam sebagai sumber
kepercayaan memberikan kebebasan kepada akal untuk memahami ajaran-ajaran
Islam. Aliran-aliran teologi Islam juga memakai kekuatan akal untuk memahami
ajaran Islam. Aliran-aliran utama dalam teologi Islam di antaranya adalah
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah yang
masing-masing mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap
pemikiran-pemikiran paham mereka. Beberapa pendekatan untuk meneliti
aliran-aliran teologi ini di antaranya adalah pendekatan historis (sejarah),
pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), pendekatan studi
tokoh, dan pendekatan komparatif.
Tokoh-tokoh dalam aliran
teologi tersebut meskipun berada dalam satu aliran tetap saja berbeda dalam
pokok-pokok ajarannya yang akhirnya menimbulkan perpecahan. Seperti aliran Maturidiah
terpecah menjadi Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara.
B. Saran
Akhirnya makalah ini dapat diselesaikan dan sudah pasti di
dalamnya terdapat kekurangan dan kelemahan, mohon kritik dan saran yang
bersifat konstruktif. WaAllahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan
Praktis Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001
Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id,
Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa:
Drs. Shobahussurur. Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991
Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1983
Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994
Taufik Abdullah, (et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis
Semantik Iman dan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Rajawali Pers, 1993
[2] Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1983), hal. ix
[6] Abdul Halim, Teologi
Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan Praktis Harun Nasution,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hal. 121
[7] Toshihiko
Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 4
[10] Taufik
Abdullah, (et.al)., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 236
dan 238
[11] Abu Zahrah, Tarikh
al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran
dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur.
(Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), hal. 75
[14] Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar