MAKALAH
Filsafat Umum
“Aktualisasi Filsafat”
Ø DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6 : Reza Rahmatillah
Ø JURUSAN : PAI
Ø PRODY : TARBIAH
Ø UNIT : A
Ø SEMESTER : 1 ( SATU )
DOSEN PEMBIMBING : RAMADHAN, M.A.
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN GPA) TAHUN AJARAN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “AKTUALISASI FILSAFAT”. Serta
shalawat dan salam kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia dari alam jahilyah ke alam berilmu pengetahuan seperti sekarang
ini.
Makalah ini saya susun berdasarkan beberapa
buku,penyusunan /pembuatan . Adapun penyajian materi ini sangat sederhana dan
sebaik mungkin tanpa melupakan tujuan agar mudah di pahami dan dimengerti untuk mengetahui isi materi yang dipelajari..
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, saya mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan isi makalah ini.
Akhirnya kami menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,agama dan Negara. Dengan rahmat
serta hidayah-Nya, makalah ini merupakan karya yang diridhoi-Nya. Amin Ya
Robbal’alamin.
Takengon, Nopember 2013
Hormat
saya,
Penulis
Kelompok VI
BAB II
PEMBAHASAN
AKTUALISASI FILSAFAT
Zaman
sekarang merupakan zamannya berpikir praktis-realistik, sehingga belajar
filsafat dianggap hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu. Sekarang,
belajar filsafat telah sampai pada paradigma baru. Belajar filsafat tidak hanya
menghafal pemikiran-pemikiran para tokoh filsafat/filsuf, akan tetapi belajar
filsafat dimaksudkan untuk membangun kesadaran, semangat, dan kepedulian agar
hidup kita lebih bermakna. Yang penting dalam belajar filsafat adalah aktualisasinya.[1]
Dalam Bab
I dikemukakan tentang kegunaan mempelajari filsafat, antara lain: menambah
wawasan keilmuan, menggugah kesadaran dan kepedulian, dan strategi menghadapi
tantangan zaman mendatang.
Kegunaan
di atas masih memperlihatkan hal-hal yang sifatnya teoretik, artinya kegunaan
filsafat belum dapat dimanfaatkan dan dirasakan secara langsung. Ibarat
seseorang akan membuat sayer lodeh kebutuhan santannya harus menanam pohon
kelapa dahulu dan untuk berbuahnya menunggu lima tahunan.
Demikian
juga, agar kita dapat memanfaatkan sekaligus merasakan kegunaan filsafat, maka
harus menunggu beberapa tahun bahkan belasan tahun. Karena, pemanfaatan
filsafat ini kadang masih terkait dengan kematangan berpikir, kematangan usia,
dan pengalaman akademiknya.
Paradigma baru belajar filsafat saat ini, ilmu filsafat
tidak hanya sekadar mempelajari berbagai pemikiran para filsuf, seperti :
Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Al-Ghazali, hingga Ranggawarsita Pujangga
Jawa, tetapi ilmu filsafat memiliki kemampuan untuk membangun kehidupan yang
lebih sejahtera, damai, dan selamat dunia akhirat.
Adapun cara
mengaktualisasikan ilmu filsafat dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai
harapan hidup.[2]
A. Aktualisasi
Filsafat Sebelum Ilmu
Dalam
masyarakat hingga saat ini masih menganggap ilmu filsafat adalah ilmu `ngawang-ngawang'
yaitu ilmu yang sulit untuk dimengerti atau ilmu yang membingungkan orang.
Memang, setiap ilmu tentu memiliki sisi negatif/sinisme. Seperti ilmu filsafat
sisi negatifnya dengan mempelajari filsafat akan mencetak pengangguran. Seperti
ilmu ekonomi sisi negatifnya dengan mempelajari ilmu ekonomi orang akan
bersifat materialistik. Sisi negatif ilmu agama dengan mempelajari ilmu agama
orang akan terhindar dari neraka. Sisi negatif ilmu kedokteran dengan
mempelajari ilmu kedokteran pikirannya akan buruk karma mendoakan orang lain
sakit.[3]
Sisi-sisi
negatif pada setiap ilmu ini hendaknya dibuang jauh-jauh, dan kita seharusnya
lebih berpikir positif terhadap setiap ilmu. Jadi, syarat agar orang dapat mengaktualisasikan
ilmu filsafat pertama-tama harus berpikiran positif.
Dengan
berpikir positif pikiran kita akan berkembang dan konstruktif dan edukatif.
Dengan berpikir positif pikiran kita akan lebih bersemangat dan realistik,
yaitu bersemangat untuk meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Dengan
berpikir positif kita akan lebih banyak melihat hal-hal yang realistik dan.
pragmatik.
Sebagai
ilmu, filsafat juga seperti ilmu-ilmu yang lain seperti: antropologi,
sosiologi, atau ilmu ekonomi. Akan tetapi, kelebihan ilmu filsafat adalah
memiliki objek formal dan material lebih lugs, clan setiap ilmu memuat unsur
filsafat. Misalnya, sosiologi memiliki filsafat sosial, ilmu hukum memiliki
filsafat hukum, ilmu kedokteran memiliki filsafat kedokteran, ilmu agama
memiliki filsafat agama, clan sebagainya. Sehingga, setiap ilmu tentu memiliki
bidang yang sulit untuk ditembus oleh ilmu tersebut, maka untuk menembusnya
hanya dengan ilmu filsafat.
Bagi orang
yang belajar ilmu filsafat hendaknya dapat 'berdialog' dengan ilmu lain.
Artinya, mempelajari ilmu filsafat tidaklah cukup dan untuk berdialog dengan
ilmu lain, maka orang harus mempelajari (misalnya) ilmu kependudukan/demografi.
Sehingga, orang tersebut pikirannya tidak selalu 'ngawang-ngawang' dalam
filsafat, tetapi pikiran orang tersebut diperkenalkan dengan pikiran yang
realistik/praktis. Karena, dalam ilmu kependudukan diajarkan tentang
migrasi/perpindahan penduduk, program keluarga berencana, kelahiran, kematian,
kualitas sumber daya manusia, mengatasi pengangguran semakin banyak.
Jadi, ilmu
filsafat harus berdialog dengan ilmu-ilmu lain, karena ilmu-ilmu (selain
filsafat) dapat dipakai untuk membantu dalam kerangka berpikir kita.[4]
B. Aktualisasi Filsafat Sebagai Cara
Berpikir
Dalam Bab
I dikemukakan bahwa berpikir secara filsafat salah satunya: sinoptif, yaitu
berpikir secara menyeluruh dan bersama-sama. Artinya, berpikir menyeluruh sama
dengan berpikir secara komprehensif.
Misalnya,
apabila kita menghadapi masalah seperti "kenakalan anak". Kenakalan
anak akan terns menjadi masalah sepanjang masa khususnya para orang tua. Untuk
menanggulangi kenakalan anak, maka masalah tersebut harus dilihat secara
filsafat, yaitu kenakalan anak harus dilihat dari semua aspek ilmu yang
terkait.[5]
Misalnya,
kenakalan anak dilihat dari sudut ilmu agama, ilmu ekonomi, ilmu
jiwa/psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Menurut ilmu ekonomi, kenakalan anak
disebabkan oleh faktor ekonomi, biasanya kenakalan berasal dari anak-anak yang
tingkat ekonominya rendah. Jarang kita temui anak-anak dari orang kaya yang
nakal, mungkin pola kenakalannya berbeda.
Menurut
ilmu agama, kenakalan anak lebih disebabkan karena faktor keberagamaan kurang,
antara kehidupan lahir dan batin tidak seimbang, sehingga tidak mampu
membedakan antara teman yang baik clan buruk kemudian terpengaruh lingkungan
buruk.
Menurut
ilmu jiwa, kenakalan anak dianggapnya 'lumrah' asal tidak merusak
(destruktio, karena anak yang nakal (konstruktio sebetulnya anak yang
semangat, kreatif dan energik, dan sebagainya. Jadi, cara berpikir filsafat itu
adalah berpikir kritis, analisis, clan dilihat dari berbagai aspek. Begitu juga
kenakalan orang tua juga harus dilihat dari berbagai aspek.[6]
Kenakalan orang tua seperti:
perselingkuhan, korupsi, emosional, dan lain-lain.
Bagaimana
cara filsafat menghadapi hal-hal yang mistis dan gaib. Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering dihadapkan pada hal-hal yang mistis, gaib, atau di luar
jangkauan akal, maka dalam filsafat pun dikenal dengan metafisika. Bagi orang
yang mempelajari metafisika, menghadapi hal-hal yang mistis dan gaib tidak
masalah. Sebab, dalam dunia mistis dan gaib memiliki ruang dan penalaran
tersendiri.
Berpikir
secara filsafat tidak hanya berpikir secara komprehensif, rasional,
konsepsional saja, tetapi inter disipliner. Di era global saat ini pemikiran
dituntut untuk lebih lugs dan satu sama lain saling terkait. Misal, keadaan
pasar modal di New York akan berpengaruh (positif/negati) pada pasar modal
seluruh dunia. Penegakan hukum Indonesia akan memengaruhi investasi asing di
Indonesia.[7]
Berpikir
secara inter disipliner adalah berpikir dengan menggunakan ilmu-ilmu terkait
yang dapat mendukung solusi suatu permasalahan. Misalnya, untuk membangun anak
berkualitas diperlukan pandangan dari berbagai ilmu, seperti: ilmu pendidikan,
ilmu agama, ilmu gizi, ilmu sosial, dan lain-lain.
Ilmu
pendidikan diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing anak dalam mencerdaskan
intelektualnya/IQ Ilmu agama diperlukan untuk membangun anak dalam mencerdaskan
emosi/EQ Ilmu gizi diperlukan untuk membangun anak agar memiliki kemampuan
berpikir lebih (IQ tinggi) yaitu dengan memberikan asupan makanan sesuai
kualitas dan kuantitas gizi yang diperlukan. Ilmu sosial diperlukan untuk
memberikan lingkungan sosial yang edukatif, karena memilih lingkungan sosial
harus selektif dan mendidik/edukatif.[8]
Jadi,
aktualisasi filsafat sebagai cara berpikir adalah kemampuan berpikir sendiri,
mampu melihat mana yang negatif dan yang positif dan mampu membedakan mana yang
baik dan yang buruk.
C. Aktualisasi Filsafat Sebagai Pandangan
Hidup
Perlu
diketahui bahwa filsafat (dalam artian) pandangan hidup banyak sekali ragamnya.
Berawal dari pembagian filsafat secara garis besar terdapat dua kutub filsafat
besar: filsafat barat dan filsafat timur. Filsafat barat meliputi: filsafat
Yunani, filsafat abad pertengahan, filsafat modern (pragmatisme, materialisme,
eksistensialisme, humanisme, ateisme, liberalisme, dan lain-lain).[9]
Filsafat
timur meliputi: filsafat Cina/Tiongkok, filsafat Jepang, filsafat India,
filsafat Islam, filsafat Indonesia/Nusantara (filsafat Jawa, filsafat Sunda,
filsafat Minangkabau, filsafat Dayak, filsafat Bugis, filsafat Madura, filsafat
Aceh, dan lain-lain).[10]
Di samping itu, sekarang banyak aliran pemikiran dari luar maupun dalam negeri yang muncul justru
meresahkan masyarakat, seperti mengaku nabi utusan Tuhan, mengaku mendapat
wangsit dari malaikat, mengaku sebagai murid Nyi Roro Kidul, dan lain-lain.
Dari
berbagai ragam filsafat atau ideologi atau doktrin ini ada yang cocok dan tidak
cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Karena, paham filsafat yang berasal
dari luar (asing) yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia justru
akan berpengaruh negatif dan bisa merusak kepribadian bangsa Indonesia. [11]
Sehingga,
untuk menghadapi berbagai ragam paham filsafat tersebut harus tetap kritis,
mencari asalusulnya (epistemologi),
bagaimana paham tersebut diajarkan apakah sesat atau menguntungkan
(metodologi), bagaimana riwayat pembawa paham
tersebut, apakah paham tersebut bertentangan dengan akidah agama atau
menyuburkan keimanan (aksiologi), dan lain-lain.
Jadi,
dalam menghadapi berbagai ragam paham filsafat/pemikiran hendaknya kira harus
kritis, jell, dan memiliki pendirian/tidak mudah terprovokasi, mampu mengadakan penilaian apakah pemikiran tersebut
balk atau tidak, apakah pemikiran tersebut menguntungkan dan memberikan makna
lebih dalam kehidupan kita atau tidak. Matra, dalam mempelajari filsafat jangan
lupa mempelajari filsafat nilai.
D. Aktualisasi Filsafat Sebagai Pemikiran
yang Reflektif
Berpikir
reflektif berarti berpikir yang dipantulkan kepada dirinya sendiri. Berfilsafat berarti refleksi terhadap
dirinya sendiri. Berfilsafat pada hakikatnya adalah menonton dirinya
sendiri ketika dirinya sedang berada di atas
panggung. Semua ragam pemikiran filsafat tentunya dapat direfleksikan
dalam kehidupan sehari-hari.[12]
Berpikir
reflektif mendorong kita akan mampu berpikir ke arah pemikiran yang lebih berkualitas (quality thinking) dan pemikiran
ke masa depan (future thinking).
Misalnya, pemikiran filsafat yang reflektif tidak hanya sebatas pada memperbaiki kualitas diri sendiri,
akan tetapi juga bagaimana memperbaiki kualitas generasi mendatang (anak-anak
kita), sehingga kita akan terhindar dari degradasi keturunan.
Di zaman sekarang (era global) membuat/melahirkan anak mudah, akan
tetapi membuat agar anak-anak kita lebih berkualitas dari diri kita,.maka
diperlukan berbagai pemikiran (inter disipliner). Hal ini sejalan dengan
keberadaan konsep-konsep pemikiran filsafat tentang: manusia unggul menurut
pemikiran barat, menurut pemikiran Indonesia, menurut pemikiran Jawa, dan
lain-lain.[13]
Manusia
unggul (berkualitas) menurut pemikiran barat yang dikemukakan oleh Nietzsche
yaitu pemikirannya tentang manusia pemberani, superman, manusia cerdas, manusia
yang tidak pernah bersalah, manusia berkuasa.
Manusia
unggul menurut pemikiran Jepang adalah manusia yang memiliki jiwa 'samurai' yaitu semangat tidak pernah kenal lelah,
pan-tang menyerah, tahan menderita yang dilambangkan dengan semangat
ksatria (boshido).
Manusia
unggul (berkualitas) menurut pemikiran Indonesia yang tertuang dalam GBHN 1999
dikemukakan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, cerdas, berkepribadian, bersemangat, rajin bekerja, dan
lain-lain.[14]
Manusia unggul (berkualitas) menurut pemikiran Islam yaitu `insan kamil', Insan kamil adalah manusia yang
telah mencapai derajat imuttaqiin' yaitu manusia yang
benar-benar aktivitas hidupnya hanya untuk mencari keridhaan Allah.[15][14]
Manusia
unggul (berkualitas) menurut pemikiran Jawa yaitu `manungsa utomo' (manusia
utama). Manusia utama adalah manusia yang dapat memenuhi hakikat
kodratnya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
Manusia
utama adalah manusia yang memiliki kemampuan
untuk: memayu hayuning seliro (berperilaku baik menjaga dirinya
dari perbuatan vista), memayu hayuning bebrayan/ sesami (berperilaku
baik terhadap sesama), memayu hayuning bawono (berperilaku untuk
kepentingan bangsa/negara).
Dari
berbagai konsep manusia berkualitas (unggul) tersebut kita akan dapat
memperoleh inspirasi bahwa melahirkan dan membangun anak berkualitas di era
global ini sangat penting. Karna, di era globalisasi
saat ini diperlukan anak-anak yang memiliki kemampuan daya saing tinggi.[16]
[1] Brouwer,
Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, (Bandung: alumni, 1986), h. 23
[3] Driyarkara,
Filsafat Manusi, Pancasila
dan Religi, (Yogyakarta:
Kanisius. 1969), h. 67
[12] Turnbull Neil,
filsafat sebagai pemikiran yang reflektif, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 56
[15] Dedi Supriyadi, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2009), h. 98
[14]
Prof Dr. H. Ramayulis Dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 45
[16] Driyarkara,
Filsafat Manusia, (Yogyakarta:
Kanisius), tp., tt.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Didalam
pembukaan makalah ini kami menggunakan berbagai sumber. Namun didalam makalah
ini kami hanya dapat mengembangkan hanya semampu kami. Dari berbagai pemaparan
materi tersebut dapat disimpulkan bahwa menambah wawasan keilmuan, menggugah
kesadaran dan kepedulian, dan strategi menghadapi tantangan zaman mendatang.
B.
Saran
Didalam pembuatan makalah ini kami masih banyak mendapatkan
kesulitan. Dan kepada Dosen pengajar dan rekan-rekan sekalian, kami selaku
pemapar menyadari masih benyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kami
masi mengharapkan saran dan arahan dari rekan-rekan sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brouwer. et. al. 1986. Sejarah
Filsafat Modern dan Sezamannya. Alumni. Bandung.
2. Driyarkara. 1969. Filsafat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Pancasila dan Religi. tp., tt.
3. Endang Daruni. et. al. 1982.
Filsuf Filsuf Dunia dalam Gambar. Yogyakarta: Karya Kencana.
4. Bakker, Anton 1984. Metode Metode
Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia.
5. Noor, Hadian. Pengantar Sejarah
Filsafat. Malang : Citra Mentari Group. 1997.
6. Osborne, Richard. Filsafat Untuk
Pemula. Yogyakarta : Kanisius. 2001.
7. Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat
Barat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004.
8. Turnbull, Neil. Bengkel Ilmu Filsafat. Jakarta : Erlangga. 2005.
9. Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung : PT
Remaja
Rosdakarya, 2007.
10.
Asmoro Ahmadi,
Filsafat Umum, Jakarta : PT RajagrafindoPersada, 2010.
11.
Dedi Supriyadi,
Pengantar Filsafat Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2009.
12.
Prof Dr. H.
Ramayulis Dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan
Islam Jakarta : Kalam Mulia 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar