MEMENUHI
TUGAS MAKALAH MATA KULIAH SEJARAH
PERADAPAN ISLAM
DINASTI UMAYAH (661-750 M)
DI
SUSUN
OLEH KELOMPOK: V
Reza Rahmatillah
DOSEN PEMBIMBING:
PADLILAWATI, S.Ag
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) GAJAH
PUTIH TAKENGON ACEH TENGAH,ACEH.
TAHUN 2013/2014
BAB
II
PEMBAHASAN
DINASTI
UMAYAH (661-750)
A. PENDIRIAN DINASTI UMAYAH (ASAL MULA
DINASTI UMAYAH)
Hampir semua sejarawan membagi
dinasti umayah (umawiyah) menjadi dua yaitu dianasti umayah yang dirintis dan
didirikan oleh muawiyah ibnu abu sufyan yang berpusat dimaskus siri). fase ini
berlansung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintah dari sistem kalifah
pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki).[1]
Kedua
dinasti Umayah Di Andalusiah (Seberia) yang pada awalnya merupakan wilayah
taklukan umayah dibawah pimpinan seorang gubernur pada jaman walid Ibnu Abd Al
Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan dinasti
Bani Abbas setelah berhasil menahlukan dinasti umayyah di Damaskus. Menolak
memba’iat ali, berperang melawan alidan melakukan perdamayan(Tahkim) dengan
pihak ali yang secara politik sangat menguntungkan muawiyah.[2]
Proses
terbntuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar
seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin
Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan.
Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi
Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para
tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya
serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali
pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan
khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah.[3] ternyata ditentang
oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan
gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman
bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali
adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu
dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman
yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya
terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara
kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan
perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin
Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai
Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M.[4] Muawiyah tidak
menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin
Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir
telah mengangkat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah
punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan
tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga
karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti
seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam
agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra.[5] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw,
yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi
dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah
untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu,
khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan
lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja
mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari
krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik
kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar,
karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein
serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman
khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai
adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman
dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka
berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan
menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman
bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum
kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir,
Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan
berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini
menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar
Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini
semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa
surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad
sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan
masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi
gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini
menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang
mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan
demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga
tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan
nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut
khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah
Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang
diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah
bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib
tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa
segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah
Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
B. POLA
PEMERINTAHAN DINASTI BANI UMAYYAH
Aku tidak
akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi
Sufyan).[6]
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya.
Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad.
Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada
abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai
ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti
Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah
(41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan
yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang
tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.[7] Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[8]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah
tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui
musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih
kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa
perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi
kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan
berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang
putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar
terhindar dari pergolakan dan konflik politik
intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat
Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah
kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)
dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan,
pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya
masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal
berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki
hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah
bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga
raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729
M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1.
Muawiyah bin
Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.
Yazid bin Muawiyah
(60-64 M/680-683 M)
3.
Muawiyah bin
Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.
Marwan bin
Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.
Abdul Malik
bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.
Walid bin
Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.
Sulaiman bin
Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.
Umar bin
Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.
Yazid bin
Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M).[9]
C.
EKSPANSI WILAYAH DINASTI BANI UMAYYAH
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan
Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat
ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke
sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim
tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[10]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di
zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq
bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara
Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan
demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan
dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama
menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh
Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari
sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di
zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik
di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah
(Nasution, 1985:62).
D.
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang
kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan
teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah
didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos
dan tempat-tempat dengan menyediakan
kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
2. Menertibkan angkatan bersenjata.
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata
uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri .
Keberhasilan
kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan
Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul
Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan.
1. Membangun
panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan
humanis di gaji tetap oleh Negara.
2.
Membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
3. Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan,
dan masjid-masjid yang megah.
Hadirnya
Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan
Al-sunnah).
4. Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting
bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan
secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu
yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan
Sirah/Tarikh.
Asy-Syakhsiyyah
al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah
wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan–penjelasan yangdia atas penulis, dapat menyimpulkan Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M.
B. SARAN
Penulis
mengharapkan setelah membahas makalah ini kita bersama dapat mengetahui operasi
biner dan bagian bagianya.
Penulis
mengakui makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan baik dalam segi penulisan maupun tataan bahasanya oleh karena
aiatu penulis mengharapkan kritikan saran
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
[1]. Siti
maryam, dkk.(ed)sejarah peradapan isalam dari klasik hingga medern.yokyakarata:
jurusan spi fakultas adab IAIN sunan kalijaga dan LESFI,2003,hlm 79.
[2]. jaih mubarok,co.id, hlm.97
[4][3] Wikipedia, “Perang
Saudara Islam Pertama”, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_saudara_Islam_pertama,
pada tanggal 3 Oktober 2012, pukul 15.49
[6][8] Philip K. Hitti, The History of Arabs.
Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times
to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
[7][9] Badri yatim, “Sejarah
Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII,
2001, hlm. 42
[9][11] Istian Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN
malang pres,2008, Cet-1, hlm.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar